Jumat, 27 Juli 2012


KONSEP NASI DALAM BAHASA SUNDA:
STUDI ANTROPOLINGUISTIK DI KAMPUNG NAGA,
 KECAMATAN SALAWU, KABUPATEN TASIKMALAYA

Rizki Hidayatullah & Mahmud Fasya
Universitas Pendidikan Indonesia
rizkihidayatullah73@yahoo.co.id


1.      Pengantar
Sejumlah kelompok etnik di Indonesia memiliki cara yang khas untuk mengungkapkan konsep nasi dalam bahasanya. Keunikan cara pengungkapan tersebut mencerminkan keragaman realitas dan budaya yang melatarbelakanginya. Salah satu kelompok etnik yang memiliki konsep unik tentang nasi adalah masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka mengenal berbagai leksikon yang berkaitan dengan nasi, seperti ditutu [ditutu] ‘ditumbuk’, ditapian [ditapi?an] ‘diayak’, diisikan [di?isikan] ‘dicuci’, dikarihan [dikarihan] ‘dimasak setengah matang’, diseupan [disəpan] ‘ditanak’, dan diakeul [di?akeəl] ‘diaduk perlahan setelah matang’. Leksikon-leksikon tersebut memiliki makna yang khas bagi masyarakat adat Kampung Naga yang masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokalnya.
Kajian mengenai konsep nasi ini penting dilakukan karena dapat mengungkap keunikan masyarakat adat Kampung Naga khususnya dan masyarakat Sunda umumnya dalam memandang nasi sebagai suatu hal yang penting dalam kehidupan mereka. Kajian ini setidaknya melibatkan dua disiplin ilmu, yaitu linguistik antropologis (anthropological linguistics) dan antropologi linguistik (linguistic anthropology). Artinya, kajian tentang konsep nasi dalam suatu bahasa tidak hanya dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu menjangkau fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan (Foley, 2001). Topik ini masih belum ada yang mengeksplorasinya secara khusus dan mendalam. Adapun penelitian Jaenudin, dkk. (2011) hanya mengkaji konsep padi di Kampung Naga. Selain itu, Retno, dkk. (2011) hanya mengkaji ragam jenis makanan tradisional di Kampung Naga. Keduanya tidak menyinggung konsep nasi, khususnya dari sisi bahasa dan kebudayaan.
Ada tiga rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini: (1) bagaimana klasifikasi dan deskripsi leksikon konsep nasi di Kampung Naga berdasarkan satuan lingual; (2) bagaimana fungsi leksikon konsep nasi bagi masyarakat adat Kampung Naga; (3) bagaimana cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan leksikon konsep nasi yang digunakan oleh masyarakat adat Kampung Naga. Untuk menjawab masalah tersebut, tahap pengumpulan data dimulai dengan mencatat leksikon konsep nasi yang digunakan masyarakat di Kampung Naga. Data-data tersebut juga dilengkapi dengan meminta bantuan beberapa informan yang merupakan warga asli Kampung Naga, yakni para ibu rumah tangga di Kampung Naga. Informan tidak hanya membantu memberi informasi tentang leksikon konsep nasi, tetapi sekaligus memberikan contoh konteks pemakaiannya. Setelah dikumpulkan dan dicatat bersama konteksnya, data-data diklasifikasikan berdasarkan bentuk lingual dan fungsinya, lalu diungkap cerminan gejala kebudayaannya.

2.      Klasifikasi dan Deskripsi Leksikon Konsep Nasi dalam Bahasa Sunda
Dari hasil penelitian diperoleh leksikon yang menyatakan konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga. Leksikon tersebut dianalisis sesuai dengan klasifikasi dan deskripsi satuan lingualnya, ditafsirkan fungsi budayanya, dan pada akhirnya dikuak cerminan kearifan lokal di balik penggunaan leksikon tersebut. Berikut ini merupakan leksikon-leksikon konsep nasi yang digunakan masyarakat adat Kampung Naga: ditutu ‘ditumbuk, ditapian ‘diayak menggunakan pengayak beras’, diisikan dicuci hingga bersih’, dikarihan ‘dimasak setengah matang’, diseupan ditanak’, diakeul ‘diaduk perlahan’, halu ‘kayu penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk menumbuk padi berbentuk persegi panjang’, tampir ‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru ‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’, jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah yang masih menempel pada beras’, hihid ‘kipas’, langseng ‘alat untuk menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh ‘kayu bakar’, hawu ‘perapian’, dulang ‘alat untuk meyimpan nasi setengah matang’, galo ‘alat pengaduk nasi setengah matang’, aseupan ‘kukusan beras’, cukil ‘alat pengaduk nasi’, cai ‘air’, beas ‘beras’, songsong ‘peniup perapian’, dan sangu ‘nasi’. Adapun pengelompokannya dapat dilihat pada tebel berikut:
Leksikon Konsep Nasi Masyarakat Adat Kampung Naga
No.
Leksikon Kegiatan
Leksikon Peralatan dan Bahan yang Digunakan
Makna Leksikal
1.
ditutu
halu, lisung, jubleg, tampir, gabah
Proses menumbuk gabah menjadi beras
2.
ditapian
nyiru, beas
Proses memisahkan gabah yang masih menempel pada beras setelah dilakukan penumbukan
3.
diisikan
boboko, cai, beas
Proses membersihkan beras dengan air menggunakan bakul
4.
dikarihan
dulang, galo, beas, cai
Proses memasak nasi hingga setengah matang
5.
diseupan
songsong, langseng, hawu, aseupan, suluh, cai, beas
Proses mengukus beras yang sebelumnya sudah dimasak setengah matang
6.
diakeul
boboko, cukil, hihid, sangu
Proses mengaduk sambil menghilangkan uap panas dengan kipas sehingga nasi menjadi pulen
Boas (1966: 59) dalam Palmer (1999: 11) mengatakan bahwa bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya. Lebih lanjut, hasil observasi Boas menunjukkan bahwa bahasa mendasari pengklasifikasian pengalaman sehingga berbagai bahasa mengklasifikasikan pengalaman secara berbeda dan pengklasifikasian semacam itu tidak selalu disadari oleh penuturnya. Adapun leksikon konsep nasi dalam bahasa Sunda dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: (1) kegiatan, serta (2) alat dan bahan. Sebelumnya, leksikon tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan bentuk lingualnya agar dapat diketahui keidentikan satuan lingual tersebut dengan kekayaan proses budaya dan produk budaya tentang konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga.
Leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga merujuk pada satuan-satuan lingual tertentu, seperti leksikon yang termasuk ke dalam bentuk kata berimbuhan atau pun bentuk dasar; begitu pun dari sisi kelas katanya. Berdasarkan pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa satuan lingual leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga seluruhnya berbentuk kata. Beberapa di antaranya merupakan kata berafiks: (1) kata berprefiks dan (2) kata berkonfiks.
Dari tabel di atas terdapat beberapa leksikon yang menggunakan prefiks, seperti ditutu ‘ditumbuk’, diseupan ‘ditanak’, dan diakeul ‘diaduk perlahan’:
(1)   di- + tutu ‘tumbuk’ à ditutu ‘ditumbuk agar beras terpisah dari gabah’
(2)   di- + seupan tanak à diseupan ‘ditanak
(3)   di- + akeul ‘aduk perlahan’ à diakeul ‘diaduk perlahan’
Dari tabel di atas terdapat beberapa leksikon yang menggunakan konfiks, seperti diisikan ‘dicuci hingga bersih’, dikarihan ‘dimasak setengah matang’, dan ditapian ‘diayak menggunakan pengayak beras’:
(1)   di-an + isik ‘cuci’ à diisikan ‘dicuci hingga bersih’
(2)   di-an + karih ‘masak setengah matang’ à dikarihan ‘dimasak setengah matang’
(3)   di-an + tapi ‘ayak’ à ditapihan ‘diayak menggunakan pengayak beras’
Leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga juga diklasifikasikan berdasarkan kelas katanya. Leksikon-leksikon tersebut cenderung termasuk ke dalam kelas kata nomina, seperti halu ‘kayu penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk menumbuk padi berbentuk persegi panjang’, tampir ‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru ‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’, jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah yang masih menempel pada beras’, hihid ‘kipas’, langseng ‘alat untuk menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh ‘kayu bakar’, hawu ‘perapian’, dulang ‘alat untuk meyimpan nasi setengah matang’, galo ‘alat pengaduk beras setengah matang’, aseupan ‘kukusan beras’, cukil ‘alat pengaduk nasi’, cai ‘air’, beas ‘beras’, songsong ‘peniup perapian’, dan sangu ‘nasi’. Semua nomina tersebut memotret kekayaan produk budaya tentang nasi di Kampung Naga. Ada juga kelas kata verba yang menggambarkan kekayaan proses budaya tentang nasi di Kampung Naga, seperti ditutu, ditapi, diisikan, dikarihan, diseupan, dan diakeul yang berkaitan dengan aktivitas atau proses menanak nasi di Kampung Naga.
Selanjutnya, leksikon konsep nasi ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok: (1) kegiatan, serta (2) alat dan bahan. Pertama, leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga dikelompokkan berdasarkan bentuk kegiatan atau aktivitas menanak nasi. Leksikon dalam kelompok ini dibagi menjadi tiga: (1) leksikon pada tahap pramenanak, (2) leksikon pada tahap menanak, dan (3) leksikon pada tahap pascamenanak. Dalam tahap pramenanak, masyarakat adat Kampung Naga melakukan proses ditutu, ditapihan, dan diisikan. Ditutu merupakan proses menumbuk padi yang sudah kering (gabah) di dalam kuali besar yang terbuat dari kayu dengan menggunakan halu hingga kulit gabah terlepas dan menjadi beras. Setelah kulit gabah terlepas dan menjadi beras, proses selanjutnya adalah ditapi. Ditapi merupakan proses membersihkan gabah yang masih menempel pada beras dengan cara diayak menggunakan nyiru hingga beras benar-benar bersih dari gabah. Setelah benar-benar bersih, beras tersebut diisikan. Diisikan merupakan proses mencuci beras dengan air bersih. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada beras.
Setelah pramenanak, tahap selanjutnya adalah menanak nasi. Tahap menanak meliputi dua proses, yaitu ngarihan dan nyeupan. Leksikon ngarihan atau dikarihan adalah leksikon yang berkaitan dengan kegiatan pertama dalam proses menanak. Ngarihan adalah proses memasak atau menyiram beras dengan air panas hingga nasi menjadi setengah matang. Setelah itu, proses selanjutnya ialah diseupan.  Diseupan adalah proses mengukus beras yang sudah setengah matang hingga menjadi nasi yang benar-benar matang. Nasi yang matang inilah yang disebut sangu. Dalam proses ini dibutuhkan waktu yang cukup lama tergantung dari banyaknya beras yang dimasak dan juga kestabilan dari perapian yang digunakan. Setelah melalui proses pramenanak dan menanak, tahap selanjutnya adalah pascamenanak. Pada tahap ini hanya dilakukan satu kali proses, yaitu diakeul. Diakeul adalah leksikon yang merujuk pada kegiatan mengaduk secara perlahan nasi yang sudah matang dengan menggunakan cukil ‘alat pengaduk nasi’. Selain itu, juga dilakukan pengipasan dengan menggunakan hihid ‘kipas’ untuk mengurangi suhu panas pada nasi yang baru matang. Proses ini dilakukan untuk menghilangkan uap air dari nasi yang masih panas sekaligus membuat nasi menjadi lebih pulen. Setelah beberapa proses tersebut dilakukan, nasi pun siap untuk dikonsumsi.
Kedua, dalam menanak nasi masyarakat adat Kampung Naga juga menggunakan berbagai peralatan dan bahan yang khas. Peralatan tersebut diklasifikasikan berdasarkan waktu penggunaannya yaitu pramenanak, saat menanak, dan pascamenanak. Peralatan dan bahan yang digunakan pada tahap pramenanak adalah  halu ‘kayu penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk menumbuk padi berbentuk persegi panjang’, tampir ‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru ‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’, jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah yang masih menempel pada beras’, beas ‘beras’, cai ‘air’. Selanjutnya, peralatan yang digunakan pada tahap menanak nasi adalah langseng ‘alat untuk menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh ‘kayu bakar’, songsong ‘peniup perapian’, hawu ‘perapian’, dulang ‘alat untuk meyimpan nasi setengah matang’, galo ‘alat pengaduk beras setengah matang’, dan aseupan ‘kukusan’. Kemudian, peralatan yang termasuk dalam tahap pascamenanak adalah boboko ‘bakul’, hihid ‘kipas’, dan cukil ‘alat pengaduk nasi’. Selain digunakan pada tahap pramenanak sebagai tempat untuk mencuci beasberas’, boboko ‘bakul’ juga digunakan pada tahap pascamenanak sebagai wadah untuk menyimpan nasi yang telah matang.

3.      Fungsi Leksikon Konsep Nasi bagi Masyarakat Adat Kampung Naga
Ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan suatu masyarakat dan leksikon bahasanya (Wierzbicka, 1997: 1). Artinya, fungsi leksikon konsep nasi di Kampung Naga juga sangat berkaitan dengan aktivitas hidup masyarakat adat Kampung Naga yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa kesehariannya. Fungsi leksikon konsep nasi dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi: (1) fungsi individual, (2) fungsi sosial, dan (3) fungsi pengetahuan.
Pertama, leksikon konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi individual karena sejumlah leksikon tersebut berkaitan dengan kegiatan pemenuhan kebutuhan dan kepuasaan individual. Konsep menanak nasi dari mulai proses awal ditutu ‘ditumbuk’ sampai pada proses akhir diakeul ‘diaduk dan dikipas secara perlahan’ sebenarnya merupakan jenis leksikon yang berkaitan dengan fungsi pemenuhan kebutuhan dan kepuasaan individual karena pada akhirnya proses menanak nasi menjadi proses yang dilakukan oleh individu untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut dalam hal kebutuhan lahiriah.
Kedua, leksikon konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi sosial karena ada beberapa leksikon yang berhubungan dengan aktivitas sosial masyarakat Kampung Naga yang menggambarkan interaksi sosial yang terjalin antarmasyarakat di Kampung Naga. Sebagai contoh, leksikon ditutu ‘ditumbuk’ menunjukkan kegiatan menumbuk padi yang ternyata biasa dilakukan secara bersamaan oleh masyarakat adat Kampung Naga. Hal tersebut memang sudah menjadi tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Naga dalam proses pramenanak nasi. Selain itu, terdapat leksikon ditapian ‘diayak’ yang menunjukkan kegiatan mengayak beras atau memisahkan beras agar tidak tercampur dengan gabah yang masih menempel. Kegiatan ini pun ternyata dilakukan secara bersama oleh masyarakat adat Kampung Naga ketika beras sudah selesai ditutu ‘ditumbuk’.
Ketiga, leksikon konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi pengetahuan karena banyak leksikon konsep nasi yang dapat memberi pengetahuan tentang suatu hal. Contohnya, leksikon dikarihan atau ngarihan ‘membauat nasi menjadi setengah matang’ merupakan  salah satu cara masyarakat adat Kampung Naga untuk menjadikan nasi menjadi mudah matang. Kemudian, leksikon diakeul menunjukkan kegiatan mengaduk dan mengipas nasi yang telah matang agar nasi menjadi lebih pulen dan nikmat untuk dikonsumsi. Selain untuk membuat nasi menjadi pulen, proses diakeul juga menyiratkan pengetahuan masyarakat adat Kampung Naga terhadap mitos-mitos yang ada, seperti mitos Dewi Sri (Dewi Padi) yang diyakini sebagai utusan Tuhan yang bertugas memberikan limpahan hasil pangan. Selain itu, banyaknya leksikon yang menunjukkan peralatan yang digunakan dalam menanak nasi, seperti boboko, halu, hihid, suluh, songsong, hawu, galo, cubleg, dan lisung, yang umumnya dibuat langsung oleh masyarakat adat Kampung Naga, secara tidak langsung memperlihatkan betapa masyarakat adat Kampung Naga memiliki pengetahuan yang luas dalam membuat kerajinan dari bahan-bahan yang disediakan oleh alam, khususnya dalam membuat peralatan rumah tangga.

4.      Cerminan Gejala Kebudayaan Berdasarkan Leksikon Konsep Nasi Masyarakat Adat Kampung Naga
Wierzbicka (1997: 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan menceritakan karakteristik cara hidup dan cara berpikir penuturnya, serta dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya penuturnya. Begitu pun halnya dengan leksikon konsep nasi masyarakat di Kampung Naga, leksikon tersebut dapat memberikan gambaran tentang pandangan kolektif masyarakat adat Kampung Naga terhadap dunianya. Lahan yang luas dengan berbagai jenis tanaman yang tumbuh subur membuat warga Kampung Naga dapat memanfaatkan kekayaan alam yang mereka miliki sebagai sumber daya yang sangat menguntungkan bagi mereka. Penggunaan peralatan, khususnya peralatan dapur yang cenderung terbuat dari bahan yang tersedia di alam seperti kayu dan bambu, mencerminkan betapa warga Kampung Naga benar-benar memanfaatkan kondisi alam di sekitar mereka sebagai sumber daya yang bermanfaat bagi mereka. Hal tersebut tercermin dari leksikon yang digunakan untuk menyatakan konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga. Masyarakat adat Kampung Naga cenderung menggunakan peralatan yang langsung didapat dari alam sekitar mereka, seperti tampir, halu, lisung, hihid, cubleg, hawu, suluh, songsong, boboko, dan nyiru. Leksikon-leksikon tersebut tidak terlepas dari budaya sekitar atau kearifan lokal yang berlaku di Kampung Naga. Pengetahuan praktis masyarakat Kampung Naga tentang ekosistem lokal, sumber daya alam, dan bagaimana mereka saling berinteraksi tercermin di dalam aktivitas keseharian yang mencakup keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam.
Selain pengetahuan masyarakat adat Kampung Naga dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya, ternyata masyarakat adat Kampung Naga juga mengenal atau mengetahui adanya mitos-mitos tertentu yang masih dipegang teguh hingga saat ini. Contohnya, masyarakat adat Kampung Naga ternyata mengetahui mitos Dewi Sri atau yang sering dikenal dengan Dewi Padi, Dewi pemberi kemakmuran. Dewi Sri atau Dewi Shri (bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, Dewi padi dan sawah, serta Dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di pulau Jawa. Hal tersebut tergambar dari proses menanak nasi yang panjang, mulai dari penumbukan padi hingga proses menanak nasi yang harus dikerjakan secara benar untuk menghormati keberadaan Dewi Sri. Pada leksikon konsep nasi pun tergambar jelas bentuk penghormatan masyarakat adat Kampung Naga terhadap Dewi Sri. Pada proses diakeul, misalnya, yang bertujuan agar nasi menjadi pulen atau legit ketika dikonsumsi, tercermin penghormatan masyarakat adat Kampung Naga kepada Dewi Sri yang telah memberikan hasil panen yang melimpah, khususnya padi. Di sisi lain, ternyata proses diakeul tersebut menyiratkan pesan bahwa nasi yang merupakan pemberian Tuhan haruslah dihidangkan dengan baik karena proses diakel dapat menjadikan nasi terasa lebih pulen dan enak untuk dikonsumsi.

5.      Simpulan
Dalam kajian ini terungkap bahwa leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu (1) kegiatan menanak nasi, serta (2) alat dan bahan menanak nasi. Berdasarkan fungsinya, leksikon konsep nasi masyarakat di Kampung Naga juga dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi, yakni (1) fungsi individual, (3) fungsi sosial, dan (2) fungsi pengetahuan. Akhirnya, muara dari kajian ini dapat mengungkap cerminan kearifan lokal dari penggunaan leksikon konsep nasi oleh masyarakat adat Kampung Naga. Penggunaan leksikon tersebut memberikan gambaran bahwa masyarakat adat Kampung Naga memiliki konsep pemanfaatan alam yang baik dan prinsip interaksi masyarakat yang harmonis.


Daftar Pustaka

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.
Jaenudin, dkk. 2011. “Konsep Padi dalam Bahasa Sunda (Kajian Antropolinguitik)”. Jurnal Kelas Linguistik, Vol. 2, No.2, pp. 1-17.
Palmer, Gary B. 1999. Towards a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press.
Retno, dkk. 2011. Leksikon Makanan Tradisional (Kajian Etnolinguistik). Jurnal Kelas Linguistik, Vol. 2, No.2, pp. 97-115.
Satjadibrata. 2011. Kamus Sunda-Indonesia. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Warnaen, Suwarsih dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.

*Tulisan ini dimuat dalam Nasanius & Yanti (ed.). 2012. KOLITA 10: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya: Kesepuluh Tingkat Internasional. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa & Budaya Unika Atma Jaya.

Pengaruh Variabel Sosial terhadap Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia

Mahmud Fasya
Euis Nicky Marnianti Suhendar

Universitas Pendidikan Indonesia
mahmud_fasya@upi.edu


1.      Pendahuluan
Pemakai bahasa dituntut untuk menggunakan bahasa yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapinya. Salah satu situasi yang dihadapi seseorang adalah situasi yang menjengkelkan atau membuat hati marah. Dalam situasi tersebut, pemakai bahasa terkadang menggunakan berbagai ungkapan makian untuk mengekspresikan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, kebencian, atau ketidaksenangan terhadap suatu hal yang menimpanya.
Dalam kehidupan dewasa ini, penggunaan makian dalam bahasa Indonesia tampaknya semakin mewarnai aktivitas berbahasa manusia, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Sehubungan dengan hal itu, Abidin Ass (2009) mengemukakan bahwa pada tahun 2007, Yayasan Pengembangan Media Anak dan 18 perguruan tinggi di Indonesia melakukan penelitian mengenai sinetron remaja yang ditayangkan dalam tahun 2006 dan 2007 yang meliputi 92 judul sinetron dengan 362 episode sepanjang 464 jam. Konsep yang dieksplorasi adalah kekerasan, mistik, seks, serta moralitas. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sinetron remaja tidak lepas dari kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikologis, finansial, seksual, spiritual, dan lain-lain. Namun, kekerasan yang paling dominan adalah kekerasan bahasa (verbalic-violence) yang mencapai 56%. Selain itu, berdasarkan beberapa berita di media cetak maupun media elektronik, aksi demonstrasi yang sering terjadi belakangan ini tidak jarang diwarnai juga dengan ungkapan makian sebagai simbol unjuk rasa para demonstran.
Berkaitan dengan makian dalam bahasa Indonesia, Wijana dan Rohmadi (2006) pernah melakukan penelitian yang berjudul “Makian dalam Bahasa Indonesia: Studi tentang Bentuk dan Referensinya”. Di dalam penelitiannya, Wijana dan Rohmadi memaparkan bentuk-bentuk makian dalam bahasa Indonesia, yaitu terdiri atas kata, frasa, dan klausa. Sementara itu, referensi makian dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi bermacam-macam, yakni keadaan, binatang, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, makhluk halus, aktivitas, profesi, dan seruan. Data penelitian tersebut bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (2001) dan komik-komik silat.
Setelah meninjau penelitian itu, penelitian makian dalam bahasa Indonesia yang dikaji dari perspektif ilmu sosiolinguistik dinilai menarik. Selain itu, peneliti juga terilhami oleh peribahasa, yakni “bahasa menunjukkan bangsa”. Artinya, bahasa pun memiliki fungsi lainnya, yaitu sebagai alat untuk menunjukkan identitas pemakai bahasa karena penggunaan suatu bahasa dianggap dapat menggambarkan kondisi sosial masyarakatnya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti semakin tertarik untuk melakukan penelitian ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) pengaruh perbedaan kelas sosial pemakai bahasa terhadap penggunaan makian dalam bahasa Indonesia, (2) pengaruh perbedaan jenis kelamin pemakai bahasa terhadap penggunaan makian dalam bahasa Indonesia, dan (3) pengaruh perbedaan usia pemakai bahasa terhadap penggunaan makian dalam bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu sosiolinguistik di Indonesia tentang pengaruh perbedaan variabel sosiolinguistik seperti kelas sosial, jenis kelamin, dan usia pemakai bahasa terhadap penggunaan makian dalam bahasa Indonesia serta dapat dijadikan referensi oleh para pemakai bahasa agar dapat menggunakan bahasa Indonesia, khususnya ungkapan makian dalam bahasa Indonesia, sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat yang sedang dihadapinya.

2.      Bentuk Lingual Makian dalam Bahasa Indonesia
Menurut Wijana dan Rohmadi (2006: 115), dilihat dari bentuk lingualnya, makian dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi tiga jenis, yakni makian bentuk kata, makian bentuk frasa, dan makian bentuk klausa. Makian yang berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yakni makian bentuk dasar dan makian bentuk kata jadian. Makian bentuk dasar adalah makian yang berwujud kata-kata monomorfemik, seperti babi ­dan setan. Sementara itu, makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemik. Makian yang berbentuk polimorfemik dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni makian berafiks, makian bentuk ulang, dan makian bentuk majemuk. Makian berafiks misalnya kata sialan. Makian bentuk ulang misalnya kata cecunguk (reduplikasi parsial). Akhirnya, ada makian yang dibentuk dari proses pemajemukan, misalnya kurang ajar.
Bentuk yang kedua adalah makian bentuk frasa. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk membentuk frasa makian dalam bahasa Indonesia, yakni dasar plus bentuk makian serta bentuk makian plus –mu. Contohnya adalah dasar buaya dan kakekmu.
Adapun makian bentuk klausa dibentuk dengan menambahkan pronomina (pada umumnya) di belakang makian dari berbagai referensi itu, seperti gila kamu, setan alas kamu, sundal kamu, dan gila benar dia. Penempatan pronomina di belakang makian dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada bentuk-bentuk makian itu.

3.      Referensi Makian dalam Bahasa Indonesia
Wijana dan Rohmadi (2006: 119) menyebutkan bahwa dilihat dari referensinya, sistem makian dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi bermacam-macam, yakni (1) keadaan, (2) binatang, (3) benda, (4) bagian tubuh, (5) kekerabatan, (6) makhluk halus, (7) aktivitas, (8) profesi, dan (9) seruan. Kata-kata yang menunjuk keadaan yang tidak menyenangkan agaknya merupakan satuan lingual yang paling umum dimanfaatkan untuk mengungkapkan makian. Secara garis besar ada tiga hal yang dapat atau mungkin dihubungkan dengan keadaan yang tidak menyenangkan ini, yaitu (1) keadaan mental, seperti gila, sinting, bodoh, dan sebagainya, (2) keadaan yang tidak direstui Tuhan atau agama, seperti keparat, jahanam, terkutuk, kafir, dan sebagainya, dan (3) keadaan yang berhubungan dengan peristiwa yang tidak menyenangkan, yang menimpa seseorang, seperti celaka, mati, modar, sialan, dan sebagainya.

4.      Metode Penelitian
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Data yang diteliti adalah ungkapan makian dalam bahasa Indonesia, baik berupa kata, frasa, maupun klausa. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik angket. Adapun angket yang digunakan di dalam penelitian ini adalah angket kombinasi (terbuka-tertutup), yaitu angket yang menyediakan alternatif jawaban, tetapi pada pilihan terakhir dikosongkan untuk memberikan kesempatan kepada responden menjawab pertanyaan sesuai dengan keadaannya bila tidak ada pilihan jawaban yang dianggap sesuai. Data tersebut bersumber dari responden yang dipilih sesuai dengan kategori yang mewakili perbedaan kelas sosial, jenis kelamin, dan usia.

5.  Pengaruh Perbedaan Kelas Sosial Pemakai Bahasa terhadap Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia
5.1  Berdasarkan Indeks Sosial Berupa Tingkat Pendidikan
5.1.1   Penggunaan Bentuk Lingual Makian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Kelas sosial merupakan kelompok orang yang mempunyai kemiripan pekerjaan dan pendapatan dan sebagai konsekuensinya mereka mempunyai kemiripan gaya hidup dan keyakinan. Oleh karena itu, implikasinya adalah bahwa jika dua orang yang berbeda kelas sosialnya, kedua orang itu akan memiliki perbedaan dalam berperilaku, baik itu perilaku linguistik maupun nonlinguistik (Milroy dalam Mahsun, 2007: 238).
Dari penggunaan ketiga bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia yakni berupa kata, frasa, dan klausa seperti yang telah disebutkan di atas, penggunaan makian berbentuk klausa dianggap dapat menunjukkan bahwa kemampuan bahasa seseorang akan berbeda sesuai dengan tingkat pendidikannya masing-masing. Hal tersebut berkaitan dengan aspek tata bahasa atau gramatika. Dalam kaitan ini, berhubungan dengan struktur klausa yang memang lebih kompleks atau rumit daripada bentuk kata atau frasa karena klausa merupakan satuan bahasa atau satuan gramatika yang terdiri atas kata yang tersusun secara sistematis. Pemakai bahasa yang berpendidikan rendah lebih sedikit menggunakan makian berbentuk klausa dibandingkan dengan pemakai bahasa yang berpendidikan tinggi. Data penelitian menunjukkan bahwa yang berpendidikan rendah berjenis kelamin perempuan hanya 4% menggunakan makian berupa klausa, sedangkan yang berpendidikan tinggi berjenis kelamin perempuan menggunakan makian berbentuk klausa sebesar 6%.
Selain itu, perbedaan penggunaan makian dalam bahasa Indonesia berbentuk klausa pun terlihat dari kategori pemakai bahasa yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan pendidikan tinggi dengan masing-masing berjenis kelamin laki-laki. Pada kategori pemakai bahasa dengan pendidikan rendah berjenis kelamin laki-laki, penggunaan makian berbentuk klausa sebesar 6% saja, sedangkan pemakai bahasa yang berpendidikan tinggi berjenis kelamin laki-laki menggunakan makian berbentuk klausa sebesar 8%.
Setelah melihat beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa makian dalam bahasa Indonesia yang berbentuk klausa memang lebih banyak dipilih oleh orang yang berpendidikan tinggi dibandingkan dipilih oleh orang yang berpendidikan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang berpendidikan tinggi dinilai memiliki kemampuan yang lebih baik dalam merangkai susunan kata yang lebih kompleks dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah. Berdasarkan penjelasan di atas, dikatakan bahwa tingkat pendidikan memang dapat memengaruhi penggunaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia.

5.1.2   Penggunaan Referensi Makian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Selain berpengaruh pada penggunaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia, fakta membuktikan bahwa perbedaan tingkat pendidikan si pemakai bahasanya dapat pula memengaruhi penggunaan referensi makian dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa yang berpendidikan rendah berjenis kelamin perempuan menggunakan makian dengan referensi binatang sebesar 7 %, sedangkan yang berpendidikan tinggi berjenis kelamin perempuan hanya sebesar 2 %. Sementara itu, responden yang berpendidikan rendah berjenis kelamin laki-laki memilih makian dengan referensi binatang sebesar 39 % sedangkan yang berpendidikan tinggi berjenis kelamin laki-laki hanya sebesar 7 %. Dengan demikian, jelas bahwa yang berpendidikan rendah lebih sering menggunakan makian dengan referensi binatang daripada yang berpendidikan tinggi, baik laki-laki maupun perempuan.
Berdasarkan fakta itulah, dapat dikatakan bahwa orang yang berpendidikan rendah saat situasi sedang marah di dalam rumah lebih mengedepankan emosi perasaan marahnya daripada orang yang dihadapinya. Sementara itu, orang yang berpendidikan tinggi lebih melihat orang yang dihadapinya, dalam hal ini seorang anak kecil yang dinilai masih wajar bila sikapnya membuat orang lain kesal. Oleh karena itulah, orang yang berpendidikan tinggi lebih menunjukkan sikapnya yang bisa menahan emosinya dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah, yakni dengan cukup melontarkan ungkapan makian ampun untuk menunjukkan kekesalannya itu.

5.2    Berdasarkan Indeks Sosial Berupa Jenis Pekerjaan
5.2.1   Penggunaan Bentuk Lingual Makian Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Selain tingkat pendidikan, jenis pekerjaan pun menjadi salah satu indeks sosial yang memengaruhi penggunaan makian dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan persentase penggunaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa orang yang bekerja sebagai PNS ada kecenderungan lebih banyak menggunakan makian bentuk frasa dibandingkan dengan orang yang bekerja sebagai non-PNS.
Sehubungan dengan fakta yang dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa setidaknya terdapat perbedaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang bekerja sebagai PNS dan yang bekerja sebagai non-PNS. Responden yang bekerja sebagai PNS, yaitu sebagai pegawai kantor lebih memilih menggunakan makian bentuk frasa. Hal itu dapat dilatarbelakangi oleh kemampuan berbahasanya yang lebih bisa menguasai bahasa selain bentuk kata dibandingkan dengan responden non-PNS, misalnya seorang pegawai pabrik atau pedagang. Tingkat pendidikan pun dinilai memengaruhi terhadap bahasa, yakni makian dalam bahasa Indonesia yang dipilih oleh seseorang yang PNS dan seseorang yang non-PNS.

5.2.2   Penggunaan Referensi Makian Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Setelah dianalisis lebih mendalam, ternyata perbedaan jenis pekerjaan pun dapat memengaruhi penggunaan referensi makian dalam bahasa Indonesia. Data penelitian menunjukkan bahwa kategori responden non-PNS – laki-laki – usia muda menggunakan makian dengan referensi binatang sebesar 24%. Sementara itu, yang non-PNS- perempuan – usia muda menggunakan makian dengan referensi binatang hanya sebesar 2%; non-PNS- perempuan – usia tua sebesar 4%; non-PNS- laki-laki – usia tua sebesar 18%; PNS- perempuan – usia muda sebesar 9%; PNS- perempuan – usia tua sebesar 4%; PNS- laki-laki – usia muda sebesar 9%; PNS- laki-laki – usia tua sebesar 4%. Dengan demikian, terlihat perbedaan yang sangat signifikan dalam penggunaan referensi makian antara yang non-PNS dengan yang PNS. Fakta di atas menunjukkan bahwa jenis pekerjaan para pemakai bahasa memang berpengaruh pada penggunaan referensi makian dalam bahasa Indonesia.

6.  Pengaruh Perbedaan Jenis Kelamin Pemakai Bahasa terhadap Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia
6.1  Penggunaan Bentuk Lingual Makian Berdasarkan Jenis Kelamin
Berkaitan dengan pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap penggunaan bahasa, Chaer dan Agustina (2004: 65) memberikan penjelasan bahwa berdasarkan seks (jenis kelamin) penutur dapat pula disaksikan adanya dua jenis variasi bahasa. Misalnya, percakapan antara sekelompok mahasiswi atau ibu-ibu akan berbeda dengan percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau bapak-bapak. Sehubungan dengan pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa perbedaan jenis kelamin memberikan pengaruh juga terhadap penggunaan bahasa di masyarakat, termasuk penggunaan makian dalam bahasa Indonesia.
Melihat hasil penelitian, diketahui bahwa yang berjenis kelamin perempuan lebih sering menggunakan makian bentuk klausa daripada yang berjenis kelamin laki-laki. Kategori perempuan muda yang berpendidikan rendah yang menggunakan makian bentuk klausa sebesar 5%, sedangkan laki-laki muda yang berpendidikan rendah sebesar 4% saja. Selain itu, kategori perempuan muda yang berpendidikan tinggi pun menunjukkan persentase yang lebih besar, yakni sebesar 9% sedangkan kategori laki-laki muda yang berpendidikan tinggi menggunakan makian bentuk klausa hanya sebesar 7%. Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat perbedaan pada penggunaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia di antara pemakai bahasa yang berbeda jenis kelaminnya.

6.2  Penggunaan Referensi Makian Berdasarkan Jenis Kelamin
Setelah dianalisis lebih lanjut, ternyata fakta di dalam penelitian ini pun menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin memengaruhi penggunaan makian dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam hal referensi makiannya. Berdasarkan data penelitian, diketahui bahwa lima dari delapan kategori responden berdasarkan jenis kelamin tersebut pada umumnya lebih banyak menggunakan makian dalam bahasa Indonesia dengan referensi makian keadaan dan seruan. Kelima kategori tersebut, yakni (1) perempuan usia muda berpendidikan tinggi, (2) perempuan usia tua berpendidikan rendah, (3) perempuan usia tua berpendidikan tinggi, (4) laki-laki usia muda berpendidikan tinggi, dan (5) laki-laki usia tua berpendidikan tinggi. Sementara itu, responden kategori perempuan usia muda berpendidikan rendah dan laki-laki usia muda berpendidikan rendah lebih dominan menggunakan makian dalam bahasa Indonesia yang mengandung referensi binatang dan keadaan. Sedikit berbeda, responden kategori laki-laki usia tua berpendidikan rendah dominan menggunakan makian dengan referensi keadaan dan kecenderungan kedua lebih menggunakan makian dengan referensi binatang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kecuali yang memiliki pendidikan tinggi, pada umumnya laki-laki lebih sering menggunakan makian dengan referensi binatang dibandingkan dengan perempuan.
Kategori laki-laki usia muda berpendidikan rendah menggunakan makian dengan referensi binatang sebesar 37% dan laki-laki usia tua berpendidikan rendah sebesar 26%. Persentase-persentase pada kategori-kategori tersebut tentu dinilai sangat besar dibandingkan dengan persentase pada kategori lainnya yang tidak melebihi 13% untuk makian dengan referensi binatang. Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan jenis kelamin sangat memengaruhi penggunaan referensi makian dalam bahasa Indonesia.

7. Pengaruh Perbedaan Usia Pemakai Bahasa terhadap Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia
7.1  Penggunaan Bentuk Lingual Makian Berdasarkan Usia
Dalam hal penggunaan makian dalam bahasa Indonesia, setiap kategori pemakai bahasa menurut perbedaan usia tentu memilih bentuk lingual dan referensi makian yang berbeda pula. Berdasarkan pada penggolongan usia menurut Hurlock, seorang ahli psikologi, penelitian ini pun hanya memfokuskan kategori responden berdasarkan dimensi usianya, yaitu usia muda  (kurang dari 40 tahun) dan usia tua (lebih dari 40 tahun). Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari perbedaan usia, semua kategorinya cenderung menggunakan makian yang bentuk kata.
Setelah diteliti lebih dalam, ternyata ditemukan juga fakta yang menarik mengenai bentuk makian yang digunakan kalangan muda. Fakta tersebut adalah berupa ungkapan makian dalam bahasa Indonesia yang diimplisitkan dalam bentuk akronim (kependekan kata yang berupa gabungan suku kata), yaitu “Dasar *nabitu (*napsu birahi tua-tua keladi)” dan “Dasar *nabijing (*napsu birahi anjing)”. Fakta tersebut dapat mengindikasikan tentang pribadi si pemakai bahasanya yang berusia muda tersebut termasuk pribadi yang lebih kreatif daripada kalangan tua karena tidak ada kalangan tua yang menggunakan makian dengan bentuk seperti itu.

7.2  Penggunaan Referensi Makian Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan fakta yang memunculkan perhatian khusus, yakni penggunaan makian dengan referensi binatang yang begitu dominan dipakai oleh kategori usia muda laki-laki. Persentase penggunaannya mencapai 41%. Fakta tersebut tentu menjadi fokus perhatian karena bila dibandingkan dengan penggunaannya oleh kategori lainnya, maka akan terlihat perbedaan persentase yang sangat jauh berbeda. Yang usia muda perempuan menggunakan makian dengan referensi binatang sebesar 8%; yang usia tua perempuan menggunakan makian dengan referensi binatang hanya sebesar 2%; yang usia tua laki-laki menggunakan makian dengan referensi binatang sebesar 4% saja. Sesuai dengan data tersebut, diketahui bahwa perbedaan usia pemakai bahasa memang sangat memengaruhi penggunaan makian dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam hal referensi makiannya.

8.      Simpulan
Pada akhir tulisan ini disampaikan simpulan bahwa perbedaan kelas sosial yang ditandai tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan, jenis kelamin, serta usia pemakai bahasa sangat memengaruhi penggunaan makian dalam bahasa Indonesia, terutama dalam hal pemilihan referensi makiannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan menggunakan makian dengan referensi binatang lebih ditunjukkan oleh yang berpendidikan rendah daripada yang berpendidikan tinggi. Selain itu, jenis pekerjaan pun cenderung membedakan referensi makian yang diungkapkan pemakai bahasa. Fakta membuktikan bahwa pada umumnya, yang non-PNS memiliki kecenderungan lebih besar menggunakan makian dengan referensi binatang daripada yang PNS.
Pengaruh jenis kelamin terhadap penggunaan makian dalam bahasa Indonesia tampak jelas pada fakta yang memperlihatkan bahwa laki-laki lebih dominan menggunakan makian dengan referensi binatang dibandingkan perempuan. Fakta ini dilatarbelakangi oleh pandangan masyarakat yang mengganggap bahwa perempuan harus bertutur kata yang halus dan sopan karena perempuan kelak akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sementara itu, laki-laki dikonotasikan sebagai figur yang cenderung kasar daripada perempuan sehingga lebih sering memaki dengan kata-kata kasar daripada perempuan.
Usia pemakai bahasa pun ternyata memengaruhi penggunaan makian dalam bahasa Indonesian. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa kalangan usia muda dominan memaki dengan referensi binatang daripada kalangan tua yang ternyata cenderung memilih makian dengan referensi seruan. Adanya kecenderungan kalangan muda untuk memaki dengan referensi binatang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh faktor kematangan emosionalnya yang masih labil. Sementara itu, kalangan tua dipandang lebih bisa mengontrol emosinya dalam keadaan marah atau kesal.


Pustaka Rujukan
Abidin Ass, Djamalul. 2009.Daya Rusak Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia”. [Online]. Tersedia: http://bangkitgila.wordpress.com/page/11/. [8 April 2010].
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics (Second Edition). London: Longman.
Hurlock, Elizabeth B. (diterjemahkan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo). 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

*Tulisan ini dimuat dalam Bahasa dan Pembangunan Karakter Bangsa (UPI Press, 2011)