Selasa, 15 Desember 2009

Bahasa Gaul: Habis Prokem Terbitlah Alay

" ...Mas Donny yang cucok, terus terang nih, akika jatuh cintrong sama yei. Kalau yei tintra membalas cinta akika, kika mawar bunuh diri di bawah pohon terate deh rasanya. Jadi, yei jangan tolak cinta kika, karena setiap malam mimpi akika cuma berisi yei punya body. Rasanya akika tintra bisa hidup tanpa yei, akika jadi tintra endang makasar, tintra bisa tidur nyenyak, tintra bisa melakukan apa-apa. Wajah Mas Donny selalu terbayang-bayang di mata ike, ke mana pun ike pergi. Suer!..."

Bagi remaja dekade 1980-an hingga 2000 awal, barangkali masih ingat sosok Lupus. Lelaki remaja yang gemar makan permen karet itu, diciptakan oleh penulis Hilman Hariwijaya. Ia sukses memotret kawula muda pada zamannya, melalui kisah-kisah kocak dalam novel Lupus.

Penggalan cerita di atas adalah salah-satu kutipan novel Lupus yang berjudul Bunga untuk Poppi yang terbit pada 2001. Pada novel itu, tokoh Fifi Alone (salah seorang teman Lupus) digambarkan sebagai remaja yang doyan menggunakan bahasa gaul. Sampai-sampai, berkirim surat kepada pujaan hatinya pun dengan menggunakan bahasa gaul. Fifi adalah salah seorang remaja yang kecanduan bahasa gaul, pada era itu memang sedang merasuki kalangan muda.

Bahasa gaul tak ubahnya seperti permainan kata-kata, yang memelesetkan kata-kata tertentu dengan kata lain. Misalnya kata aku diganti dengan akika, mau dengan mawar, tidak dengan tintra, enak dengan endang, makan dipelesetkan menjadi makasar.

Bahasa gaul semacam itu mulai populer pada dekade 1990-an. Bahkan pada 1999, komedian Debby Sahertian berhasil mengumpulkan kosakata bahasa gaul dalam Kamus Bahasa Gaul. Kini, buku itu sudah terbit tiga jilid.

Meski remaja umur belasan sekarang tidak banyak lagi yang menggunakan bahasa gaul, sebagaimana Fifi Alone dalam kisah Lupus, bahasa gaul itu telah sukses menjadi penanda zaman pada eranya. Bahkan, beberapa kosakata masih familiar hingga kini, "ember" (emang) dan "sutra" (sudah) menjadi warisan bahasa gaul yang masih diamalkan.

Sebelum bahasa gaul populer, remaja pada era 1980-an hingga awal 1990-an juga mempunyai bahasa pergaulan. Istilan bokap dan nyokap (bapak dan ibu) merupakan warisan bahasa prokem -sebutan bahasa gaul kala itu- yang hingga kini tetap dipakai oleh remaja.

Konon, bahasa prokem adalah bahasa sandi yang beredar di kalangan preman, supaya aktivitasnya tidak terendus oleh pihak lain, terutama polisi. Sandi-sandi itu tidak dibuat sembarangan. Sesudah huruf pertama diisi "ok", lalu biasanya huruf atau suku kata terakhir kata itu dihilangkan. Isitilah prokem juga didapat dari rumus itu. Asal katanya preman, pr + ok + em (an dihilangkan). Begitu pula dengan bokap (bapak), nyokap (nyak, ibu dalam bahasa Betawi), bokep (BF/blue film, ep berasal dari konsonan f yang dibaca p). Di Yogyakarta, kita mengenal pemelesetan bahasa melalui kata yang sangat populer, "dagadu" (matamu) yang menggunakan susunan huruf Jawa hanacaraka sebagai rumusannya. Begitu juga di Malang, Jawa Timur yang rumusnya merupakan kebalikan dari kata sebenarnya, misalnya wedok (wanita) menjadi kode (w nya dihilangkan), serta banyak lagi.

Entah siapa yang menciptakannya, tetapi bahasa prokem sudah berhasil menjadi penanda bagi remaja pada era itu. Seiring waktu, bahasa prokem mulai tenggelam, sebagian bermatomorfosa sampai muncul bahasa gaul lain, yang digunakan anak-anak remaja masa kini.

Rasmuz, seorang penyiar di Radio Ardan Bandung, menyebut sekarang adalah generasi alay atau singkatan dari anak lebay. "Lebay itu berlebihan," ujarnya.

Tidak seperti bahasa prokem, bahasa alay tidak mengenal rumus. Setiap kata yang dimaksud, huruf-huruf penyusunnya diganti dengan huruf atau angka, yang kalau dibaca menyerupai kata yang dimaksud. Misalnya kamu menjadi kmuwh, iya menjadi eeah. Bisa juga dikombinasi dengan angka dan tanda baca, misalnya sl3s4! (selesai), d4h (sudah) dan sebagainya. Hebatnya, bukan hanya Bahasa Indonesia yang terkena pengaruh alay. Bahasa Inggris dan Sunda juga bisa di-alay-kan.

"Bahasa ini muncul sejak buming internet. Berbagai jejaring sosial seperti friendster dan facebook jadi awal mula. Mereka mengeksplore tulisan, diutak-atik jadilah seperti itu. Apalagi, sekarang bisa up date status di facebook dari handphone. Semakin sering kan bosen kalau nulisnya biasa-biasa saja," katanya.

Rasmuz yang umurnya sebenarnya bukan anak baru gede (ABG) lagi, pada mulanya cukup kesulitan ketika membaca pesan singkat yang dikirim ke radionya, sebagai bentuk interaksi dengan pendengarnya. "Akan tetapi, lama-lama ya terbiasa juga. Biar pun kita ga seumur, tetapi mereka tahu kalau saya juga paham. Jadi, sama pendengar tercipta kedekatan," katanya.

Menurut dia, pelajar SMP dan SMA yang paling banyak menggunakan bahasa alay. "Anak kuliahan juga ada, biasanya semester-semester awal yang masih ada pengaruh alay waktu masih SMA," katanya.

**

Bahasa pergaulan pada umumnya, digunakan untuk kalangan tertentu. Apalagi, bahasa memang berasal dari kesepakatan sekelompok orang yang menggunakannya.

Pengajar Bahasa Indonesia dari Universita Pendidikan Indonesia (UPI) Andika Dutha Bachari mengatakan, semua penutur bahasa mempunyai naluri yang sama. Naluri untuk berekspresi dan mempunyai rahasia. Maka sangat wajar jika kalangan preman menciptakan prokem agar tidak diendus polisi, atau remaja menggunakan bahasa alay agar aktivitasnya tidak terpantau orang lain.

Bahasa bersifat dinamis dan penuturnya bersifat kreatif. Dengan demikian, bahasa mengalami perkembangan dan perubahan. Seperti halnya bahasa pergaulan yang setiap dekade mempunyai ciri yang berbeda. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang juga dipakai sebagai saluran berbahasa. Bahasa alay buktinya. Bahasa ini lebih kentara dalam bahasa tulis, karena kemunculannya dipicu oleh penggunaan komputer, internet, dan telefon seluler dengan SMS-nya (short massage service). "Mereka akan mencari bentuk baru, yang sesuai dengan salurannya," kata Andika.

Uniknya, bahasa pergaulan yang sebenarnya diciptakan untuk kalangan terbatas justru berkembang menjadi bahasa pergaulan yang digunakan bahasa sehari-hari. "Hal itu, karena terjadi kebocoran ragam bahasa. Bocor dari kelompok sosial tertentu ke kelompok sosial lainnya," ujar Andika.

Kebocoran semacam itu mengakibatkan penggunaan bahasa gaul menjadi melebar, juga menimbulkan penilaian miring. Misalnya pengguna bahasa alay, dikonotasikan sebagai anak manja dengan intelejensi yang rendah. Atau pengguna bahasa prokem yang dicap kampungan. Hal itu bisa saja terjadi, karena penilaian itu datang dari kelompok sosial lain, bukan dari kelompok bahasa itu berasal dan digunakan.

"Ini bukan soal benar atau salah. Ini fenomena wajar jadi jangan dianggap sebagai dosa berbahasa. Tidak bisa dianggap aib. Ini konsekuensi logis orang, yang hidup berhadapan dengan berbagai realita," katanya.

Pendapat serupa juga dikatakan oleh Mahmud Fasya, pengajar Bahasa Indonesia di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. "Yang terpenting mereka mampu menempatkannya sesuai dengan situasi. Pendidikan Bahasa Indonesia itu seharusnya diarahkan ke sana, menanamkan kemampuan menggunakan bahasa yang tepat sesuai dengan situasinya," katanya.

Kekhawatiran merusak tatanan Bahasa Indonesia juga tidak perlu. Sebab, menurut dia, potensinya kecil. Sebab, bahasa-bahasa pergaulan itu hanya sebagai sarana berekspresi. Tidak untuk komunikasi formal. Berbeda dengan kondisi di beberapa negara Eropa, Singapura atau Australia, yang saat ini sedang didorong untuk memformalkan bahasa pergaulan di sekolah, sehingga bisa digunakan untuk menjawab soal-soal ujian. (Catur Ratna Wulandari/"PR")***
Penulis:
Back

© 2009 - Pikiran Rakyat Bandung.

Penganut Ideologi Alay!?

"ENggak tahu siapa yang memulai atau dari mana asalnya. Awalnya hanya coba-coba untuk kirim SMS. Karena bagus, ya ditiru," kata Anastasia Ayudea (16) mencoba mengingat kembali dari mana ia mengenal bahasa alay (anak lebay).

Menurut siswi kelas II SMA itu, bahasa alay jenisnya bermacam-macam, tetapi kebanyakan untuk bahasa tulis. Ada yang mencampur antara huruf besar dan kecil, ada juga yang menggabungkan huruf dengan angka bahkan tanda baca.

"Kalau saya sih enggak terlalu suka dengan yang huruf angka karena tidak semua ngerti. Saya aja bacanya sulit, apalagi yang lain," kata Dea, sapaan akrabnya. Beberapa kata yang kerap ia gunakan adalah mengganti saya dengan saiia, sangat ditulis dengan sangadt.

Dea sendiri tidak begitu suka dengan teman-temannya yang terlalu alay. "Ada juga teman yang selalu ber-alay-alay, aduh lebay juga ya. Yang baca pusing. Awalnya dia pakai itu biar status di facebooknya dibaca orang, supaya eksis. Tetapi yang baca aja enggak paham, ya akhirnya malah enggak dibaca," katanya.

Bagaimana mengetahui gaya-gaya baru penulisan ala alay ini? Selain dari teman, itu bisa didapat dari internet. Di internet, ada situs yang bisa menerjemahkan kata-kata biasa menjadi bahasa alay. Bahkan, ada yang bisa diunduh dan disimpan di telefon seluler.

Ia mengaku, awalnya hanya untuk lucu-lucuan. Sebab penulisan huruf-huruf yang dicampur aduk itu tampak menarik. Lama-kelamaan kreativitas yang lain menyusul. Tak hanya dicampur dengan huruf besar kecil, tetapi juga dengan angka, tanda baca, dan berbagai simbol.

Saking seringnya, apa tidak khawatir akan terbawa saat sekolah? "Ya kalau ketahuan pakai huruf-huruf begitu mungkin nilaiku bisa dikurangi, apalagi aku jurusan bahasa. Hal-hal yang seperti itu diperhatikan sekali," katanya.

Putri Indraswari (17), siswa kelas III SMA ini kadang menggunakan bahasa alay saat corat-coret di buku hariannya atau berkomunikasi tulis dengan teman sebayanya. "Seru aja! Lucu, apalagi lagi tren juga," ujarnya. Tetapi, tidak untuk menulis pelajaran sekolah, apalagi yang nantinya diperiksa guru.

Bahasa alay yang digunakan remaja ditangkap pula oleh Irfan Arif Harmani, seorang pengajar di salah satu SMP di Kota Bandung. Bahasa itu ia ketahui dari SMS yang dikirim siswa siswinya. "Kadang bingung juga membacanya itu," ujarnya.

Namun, guru bahasa Inggris itu belum menemukan siswanya yang kebablasan menggunakan bahasa alay di tugas sekolah atau di lembar jawaban ujian. Hanya, model penulisan seperti yang ia terima di SMS banyak ia temukan di coretan-coretan di bangku atau dinding sekolah.

Meski tampaknya bahasa ini hanya berkembang untuk ragam bahasa tulis, Rasmuz, penyiar Radio Ardan Bandung punya pengalaman lain. Menurut dia, bahasa alay tidak hanya pada tulis. Ia memperhatikan perilaku-perilaku para alay ini. "Biasanya dia ngomongnya dimanja-manjain. Mereka senang sekali bergaya lucu dan imut. Menampakkan sifat kekanakannya," katanya.

Bahkan, ia memperhatikan cara berpenampilan dan bergaya anak lebay (alay) ini. "Lebay itu kan berlebihan, kadang beberapa hal dalam dirinya juga berlebihan. Misalnya dandannya, banyak remaja yang berdandan lebih dewasa dari umur yang sebenarnya. Cara-cara mereka pose di foto banyak yang menonjolkan pipinya. Pose-pose up close. Pokoknya yang menunjukkan mereka manja dan imut," katanya.

Bisakah bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan perilaku pemakainya?

Pengajar bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia Andika Dutha Bachari mengatakan, bahasa merupakan cerminan berpikir seseorang. Sebab, aktivitas berbahasa merupakan kegiatan memilih. Bukan aktivitas yang tidak sengaja. Maka melalui bahasa bisa diketahui pula ideologi seseorang.

"Tetapi, karena proses berpikir pemilihan bahasa ini dianggap lazim sehingga tidak terlihat dan tidak disadari. Manusia hidup ini berhadapan dengan banyak kode. Mereka harus memilih kode yang akan digunakan. Dan ketika salah memilih kode maka akan menimbulkan konsekuensi," katanya.

Penilaian-penilaian yang timbul sebenarnya lebih pada perilaku penuturnya. Jika perilakunya baik, bahasa yang dipakai dianggap baik. Jika bahasa itu dinilai negatif, sebenarnya yang negatif adalah perilakunya bukan bahasa itu sendiri.

"Contohnya mengapa bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa internasional. Itu juga lebih disebabkan pada perilaku penuturnya yang dinilai pintar, maju, dan modern," kata Mahmud Fasya, pengajar bahasa Indonesia UPI yang lain.

Ia memperkirakan bahasa gaul saat ini punya peluang bertahan lama. Apalagi jika penuturnya mewariskan bahasa tersebut pada generasi selanjutnya. Sehingga bukan tidak mungkin bahasa alay juga akan meninggalkan warisan sebagaimana bahasa pergaulan sebelum-sebelumnya.

Bila bahasa mencerminkan ideologi, bagi anak-anak remaja penutur bahasa alay, ideologinya apa ya. Mungkinkah mereka juga berideologi alay!? (Catur Ratna Wulandari/"PR") ***
Penulis:
Back

© 2009 - Pikiran Rakyat Bandung.

Jumat, 17 Juli 2009

Sayur Ini Jangan, Sayur Itu Juga Jangan

oleh
Mahmud Fasya


Saat bingung mencari titik masuk yang pas untuk mengawali tulisan ringan ini, tiba-tiba saya teringat akan penggalan dialog yang populer dalam salah satu film Warkop DKI (Dono, Kasino, dan Indro). Penggalan dialog yang dimaksud kira-kira memuat percakapan seperti ini: “Ini jangan, ini jangan, dan ini juga jangan. Nah, ini sambal terasi. Ayo, dimakan!” Setelah mendapat komando untuk menyantap hidangan, salah seorang personil Warkop dengan terpaksa hanya makan nasi plus sambal terasi karena semua sayur yang ditunjuk selalu disebut jangan, jangan, dan jangan. Ujungnya bisa ditebak. Personil Warkop itu langsung sakit perut.

Bila dicermati, ada yang ganjil dalam percakapan tersebut. Mengapa saat menunjukkan sayur, penutur mengatakan, “Ini jangan, ini jangan, dan ini juga jangan”? Padahal, secara visual dapat ditangkap informasi bahwa orang yang menawarkan hidangan sama sekali tidak bermaksud untuk melarang personil Warkop agar jangan mencicipi sayur yang telah dihidangkan.

Untuk memahami percakapan tersebut, ternyata masih ada konteks lain yang harus diperhatikan. Secara verbal dan visual, dalam film tersebut juga terselip konteks yang menunjukkan bahwa percakapan tersebut terjadi dalam ranah keluarga yang berlatar belakang etnis Jawa. Dukungan konteks yang terakhir ini menjadi sangat penting untuk dilibatkan agar personil Warkop tidak keliru dalam memaknai kata jangan yang hadir dalam percakapan tersebut.

Kata jangan yang dalam bahasa Indonesia (BI) berparalel dengan bentukan tidak boleh ternyata sangat berbeda dengan kata jangan dalam bahasa Jawa (BJ) yang bermakna ‘sayur’. Walau terdapat perbedaan secara fonologis, ternyata penutur BI yang berlatar belakang etnis non-Jawa luput menyimak perbedaan itu. Akibatnya, pemaknaan yang keliru seperti dalam adegan film tersebut menjadi lumrah terjadi dalam khazanah komunikasi antaretnis di negeri ini.

Kasus yang sama juga terjadi dalam percakapan antara sopir dan kernet sebagaimana dapat diamati dalam dialog berikut ini:
Sopir : Cokot ganjelna!
Kernet : Atos.
Sopir : Mana? Buru cokot ganjelna!
Kernet : Atos.

Kalau dialog itu terus berlanjut, sopir dan kernet tersebut bisa bertengkar hebat gara-gara keliru dalam memahami tuturan mitra tuturnya. Mengapa demikian? Ternyata, dalam percakapan itu sang sopir menggunakan sistem semantik bahasa Sunda (BS), sedangkan sang kernet menggunakan sistem semantik BJ. Jadi, tentu saja akan timbul masalah karena setiap bahasa memiliki sistem semantik yang unik yang berlaku terbatas pada bahasa itu sendiri.

Dalam BS, kata cokot bermakna ‘ambil’, sedangkan dalam BJ kata cokot bermakna ‘gigit’. Kata atos juga begitu. Dalam BS, kata atos bermakna ‘sudah’, sedangkan dalam BJ kata atos bermakna ‘keras’. Karena perbedaan makna yang sangat kontras itu, dialog antara sopir dan kernet seperti dalam percakapan di atas sulit dicarikan titik temunya.

Selama kuliah di Jogja, saya juga pernah mengalami kejadian yang serupa dengan contoh di atas. Saat itu, pagi-pagi sekali, teman kuliah saya yang asli Magelang datang tiba-tiba ke tempat kos. Lalu, dengan terburu-buru sambil menuju ke arah kamar mandi, dia berkata, “Sori, tunggu bentar! Aku durung adhus.” Sebagai orang Sunda, saya langsung tertawa geli ketika menyimak tuturan tersebut.

Dalam benak saya, secara reflek hadir pemaknaan bahwa ‘teman yang dari Magelang itu tadi sebelum berangkat ke Jogja sempat “bercinta” dulu dengan istrinya dan tidak sempat mandi besar’. Pemaknaan itu hadir karena saya menggunakan sistem semantik BS yang memaknai adus sebagai ‘mandi besar’. Padahal, teman saya itu memiliki kerangka makna yang berbeda karena dia menggunakan sistem semantik BJ yang memaknai adhus sebagai ‘mandi’. Jadi, “pikiran kotor” itu semata-mata hadir karena adanya perbedaan sistem semantik yang digunakan oleh saya dan teman saya.

Secara umum, kasus-kasus kebahasaan seperti itu lazim dikelompokkan ke dalam kajian relasi makna, khususnya homonimi. Homonimi ialah hubungan antara kata yang ditulis dan atau dilafalkan dengan cara yang sama dengan kata yang lain, tetapi tidak mempunyai hubungan makna (Kridalaksana, 1984). Sebagian linguis membagi homonimi menjadi dua jenis, yaitu homografi dan homofoni (Wijana, 2008). Homografi kesamaannya terletak pada keidentikan ortografi (tulisan dan ejaan), seperti kata seri yang dapat bermakna ‘sinar’ /səri/ dan ‘jilid’ /seri/. Sementara itu, homofoni menyandarkan kesamaannya pada keidentikan bunyi dan pengucapan. Misalnya, kata bang dapat bermakna ‘kakak’ (dari abang), ‘yayasan keuangan’ (dari bank), ‘suara azan’, dan ‘tiruan bunyi peti jatuh’.

Sebagaimana uraian sebelumnya, bila terlalu banyak kata yang berhomonim (termasuk homograf dan homofon), hal ini akan memunculkan masalah. Artinya, hanya sedikit kata yang dapat dibedakan satu sama lain secara jelas. Banyak kata tak akan dapat dilambangi secara jelas. Akibatnya, akan muncul adanya kekeliruan dalam pemaknaan. Namun, untuk kasus homofoni, bisa jadi akan muncul juga kasus yang menggelikan seperti ini: “Jika malu bertanya, memang akan sesat di jalan. Akan tetapi, jika mak ‘lu bertanya, pasti mak gua yang jawab!”

Jumat, 02 Januari 2009

Cumi atau Cumi-cumi?

oleh Mahmud Fasya

“Orang bilang kalau tidak boros tidak afdol,” demikian kata Rahardi (Pikiran Rakyat, 16 September 2006) ketika mengungkap “wabah boros” yang sudah menyelinap ke dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia. Seolah-olah tak pandang bulu, wabah boros juga menyerang kehidupan berbahasa Indonesia. Akibatnya, dalam bahasa Indonesia (BI) dijumpai bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang tergolong pleonasme (berlebihan atau boros).

Kalau dianggap sebagai wabah yang membawa malapetaka, sifat boros harus dihindari. Sifat boros harus diganti dengan sifat hemat. Kita harus hemat dalam menggunakan uang, waktu, dan energi. Kita juga harus hemat dalam menggunakan kata-kata. Gunakan kata-kata sesuai dengan keperluannya! Dengan demikian, pemakaian “Dia hanya termenung” atau “Dia termenung saja” tentu saja lebih hemat daripada “Dia hanya termenung saja”.


Masalah boros dalam berbahasa ternyata tidak berhenti sampai di situ. Masih ada bentuk-bentuk pleonasme lain yang diterima dengan nyaman oleh penutur BI. Tengok saja kasus pemakaian berikut! Penggunaan konstruksi “habis tak bersisa” dalam kalimat “Uangku habis tak bersisa” seakan tak mengganggu “sanubari sintaksis” kita. Padahal, makna ‘habis’ relatif sama dengan makna ‘tak bersisa’. Pemakaian seperti itu lazim disebut sebagai gaya bahasa pleonasme.


Jadi, seolah-olah ada sesuatu yang kontradiktif di antara kedua contoh pemakaian itu. Dalam contoh yang pertama, pemakaian “Dia hanya termenung saja” dicerca sebagai bentuk pemborosan dalam berbahasa. Sementara itu, dalam contoh yang kedua, pemakaian “Uangku habis tak bersisa” dipuja sebagai bentuk keindahan gaya bahasa.


Dalam pada itu, selain gemar berboros-boros, ternyata penutur BI juga pintar berhemat-hemat dengan menggunakan kata-kata yang dipendekkan. Bahkan, Kridalaksana (1990) menggolongkan proses pemendekan (abreviasi) ini sebagai salah satu proses pembentukan kata dalam BI. Jadi, abreviasi telah disejajarkan dengan afiksasi (pengimbuhan), reduplikasi (pengulangan), dan komposisi (pemajemukan) yang telah lebih dulu populer dalam BI.


Memang banyak juga contoh yang dapat diungkap ihwal pemakaian bentuk pendek dalam BI. Pertama, penutur BI sangat produktif dalam menghasilkan singkatan. ATM, misalnya, yang tadinya
Automatic Teller Machine diadaptasi menjadi “Anjungan Tunai Mandiri”. Ada juga STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang sempat diplesetkan menjadi “Sekolah Tinggi Pembantaian Dalam Negeri”. Dalam kancah gaul, tentu saja para ABG (Anak Baru Gede) sangat hafal singkatan “ABCD” yang merupakan kependekan dari “Aduh Bo Capek Deh”.

Kedua,
penutur BI piawai membuat akronim. Nama-nama jalan tol, misalnya, banyak yang berupa akronim. Kita sangat akrab dengan “Jagorawi” yang dipendekkan dari “Jakarta, Bogor, dan Ciawi”. Tentu saja kita juga akrab dengan “Cipularang” yang dipendekkan dari “Cikampek, Purwakarta, dan, Padalarang”. Bahkan, sebutan “Cipularang” pun kemudian berkembang menjadi “Purbaleunyi” yang dipendekkan dari “Purwakarta, Bandung, dan Cileunyi”.

Ketiga,
penutur BI sudah biasa memenggal kata. Panggilan untuk “dokter” lazim dipenggal menjadi “dok”, “profesor” menjadi “prof”, dan “bapak” menjadi “pak”. Selain contoh tersebut, tentu masih ada penggalan lain yang sudah lazim digunakan oleh penutur BI.

Keempat,
penutur BI juga pandai membuat kontraksi dari kata-kata. Kata “tidak”, misalnya, sudah biasa mengalami kontraksi menjadi “tak”, “tidak akan” menjadi “takkan”, dan “tidak ada” menjadi ”tiada”. Perubahan “jika kalau” menjadi “jikalau” juga masih tergolong kontraksi.

Di samping sejumlah contoh tersebut, kita juga dapat menemukan proses penghematan dalam reduplikasi. Gabungan kata “guru besar” tidak diulang menjadi “guru besar-guru besar”, tetapi menjadi “guru-guru besar”. Gabungan kata “kapal perang” juga tidak diulang menjadi “kapal perang-kapal perang”, tetapi menjadi “kapal-kapal perang”. Keraf (1996) menyebut kasus seperti itu sebagai bukti adanya faktor ekonomis dalam berbahasa.


Bahkan, karena begitu hemat dalam berbahasa, sebagian penutur BI memunculkan bentuk-bentuk yang tidak wajar ketika berbahasa. Tengok saja bentukan “kekanakan”, misalnya, yang disederhanakan dari kata “kekanak-kanakan”! Bukankah bentuk dasar yang ada dalam BI adalah “kanak-kanak”, bukan “kanak”? Jadi, ketika mendapat konfiks ke-an, bentuk “kanak-kanak” seharusnya menjadi “kekanak-kanakan”, bukan menjadi “kekanakan”.


Masih ada kasus lain yang dapat dikategorikan sebagai bentuk penyederhanaan dalam pemakaian BI. Pelanggan masakan padang pasti akrab dengan jenis lauk-pauk yang biasa disebut “cumi” dan “paru”. Bukankah nama lengkap dari kedua jenis lauk-pauk tersebut adalah “cumi-cumi” dan “paru-paru”? Kemudian, mengapa bisa “cumi-cumi” berubah menjadi “cumi” dan “paru-paru” berubah menjadi “paru”?


Alasan penyederhanaan (simplifikasi) sepertinya menjadi salah satu penyebabnya. Artinya, adanya kecenderungan untuk memunculkan bentuk-bentuk yang simpel memang sudah lumrah dalam berbahasa, khususnya dalam BI. Dalam batas-batas tertentu, hal itu masih bisa dimaklumi. Akan tetapi, kalau sudah tanpa kendali, bisa jadi simplifikasi akan memunculkan bentuk-bentuk yang simplistis, yaitu bentuk-bentuk yang bersifat terlalu disederhanakan sehingga tidak wajar.


Jangan-jangan, “lumba-lumba” bisa menjadi “lumba”, “kupu-kupu” menjadi “kupu”, “kura-kura” menjadi “kura”, dan “kunang-kunang” menjadi “kunang”. Jadi, yang betul itu “cumi” atau “cumi-cumi”?