Jumat, 02 Januari 2009

Cumi atau Cumi-cumi?

oleh Mahmud Fasya

“Orang bilang kalau tidak boros tidak afdol,” demikian kata Rahardi (Pikiran Rakyat, 16 September 2006) ketika mengungkap “wabah boros” yang sudah menyelinap ke dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia. Seolah-olah tak pandang bulu, wabah boros juga menyerang kehidupan berbahasa Indonesia. Akibatnya, dalam bahasa Indonesia (BI) dijumpai bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang tergolong pleonasme (berlebihan atau boros).

Kalau dianggap sebagai wabah yang membawa malapetaka, sifat boros harus dihindari. Sifat boros harus diganti dengan sifat hemat. Kita harus hemat dalam menggunakan uang, waktu, dan energi. Kita juga harus hemat dalam menggunakan kata-kata. Gunakan kata-kata sesuai dengan keperluannya! Dengan demikian, pemakaian “Dia hanya termenung” atau “Dia termenung saja” tentu saja lebih hemat daripada “Dia hanya termenung saja”.


Masalah boros dalam berbahasa ternyata tidak berhenti sampai di situ. Masih ada bentuk-bentuk pleonasme lain yang diterima dengan nyaman oleh penutur BI. Tengok saja kasus pemakaian berikut! Penggunaan konstruksi “habis tak bersisa” dalam kalimat “Uangku habis tak bersisa” seakan tak mengganggu “sanubari sintaksis” kita. Padahal, makna ‘habis’ relatif sama dengan makna ‘tak bersisa’. Pemakaian seperti itu lazim disebut sebagai gaya bahasa pleonasme.


Jadi, seolah-olah ada sesuatu yang kontradiktif di antara kedua contoh pemakaian itu. Dalam contoh yang pertama, pemakaian “Dia hanya termenung saja” dicerca sebagai bentuk pemborosan dalam berbahasa. Sementara itu, dalam contoh yang kedua, pemakaian “Uangku habis tak bersisa” dipuja sebagai bentuk keindahan gaya bahasa.


Dalam pada itu, selain gemar berboros-boros, ternyata penutur BI juga pintar berhemat-hemat dengan menggunakan kata-kata yang dipendekkan. Bahkan, Kridalaksana (1990) menggolongkan proses pemendekan (abreviasi) ini sebagai salah satu proses pembentukan kata dalam BI. Jadi, abreviasi telah disejajarkan dengan afiksasi (pengimbuhan), reduplikasi (pengulangan), dan komposisi (pemajemukan) yang telah lebih dulu populer dalam BI.


Memang banyak juga contoh yang dapat diungkap ihwal pemakaian bentuk pendek dalam BI. Pertama, penutur BI sangat produktif dalam menghasilkan singkatan. ATM, misalnya, yang tadinya
Automatic Teller Machine diadaptasi menjadi “Anjungan Tunai Mandiri”. Ada juga STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang sempat diplesetkan menjadi “Sekolah Tinggi Pembantaian Dalam Negeri”. Dalam kancah gaul, tentu saja para ABG (Anak Baru Gede) sangat hafal singkatan “ABCD” yang merupakan kependekan dari “Aduh Bo Capek Deh”.

Kedua,
penutur BI piawai membuat akronim. Nama-nama jalan tol, misalnya, banyak yang berupa akronim. Kita sangat akrab dengan “Jagorawi” yang dipendekkan dari “Jakarta, Bogor, dan Ciawi”. Tentu saja kita juga akrab dengan “Cipularang” yang dipendekkan dari “Cikampek, Purwakarta, dan, Padalarang”. Bahkan, sebutan “Cipularang” pun kemudian berkembang menjadi “Purbaleunyi” yang dipendekkan dari “Purwakarta, Bandung, dan Cileunyi”.

Ketiga,
penutur BI sudah biasa memenggal kata. Panggilan untuk “dokter” lazim dipenggal menjadi “dok”, “profesor” menjadi “prof”, dan “bapak” menjadi “pak”. Selain contoh tersebut, tentu masih ada penggalan lain yang sudah lazim digunakan oleh penutur BI.

Keempat,
penutur BI juga pandai membuat kontraksi dari kata-kata. Kata “tidak”, misalnya, sudah biasa mengalami kontraksi menjadi “tak”, “tidak akan” menjadi “takkan”, dan “tidak ada” menjadi ”tiada”. Perubahan “jika kalau” menjadi “jikalau” juga masih tergolong kontraksi.

Di samping sejumlah contoh tersebut, kita juga dapat menemukan proses penghematan dalam reduplikasi. Gabungan kata “guru besar” tidak diulang menjadi “guru besar-guru besar”, tetapi menjadi “guru-guru besar”. Gabungan kata “kapal perang” juga tidak diulang menjadi “kapal perang-kapal perang”, tetapi menjadi “kapal-kapal perang”. Keraf (1996) menyebut kasus seperti itu sebagai bukti adanya faktor ekonomis dalam berbahasa.


Bahkan, karena begitu hemat dalam berbahasa, sebagian penutur BI memunculkan bentuk-bentuk yang tidak wajar ketika berbahasa. Tengok saja bentukan “kekanakan”, misalnya, yang disederhanakan dari kata “kekanak-kanakan”! Bukankah bentuk dasar yang ada dalam BI adalah “kanak-kanak”, bukan “kanak”? Jadi, ketika mendapat konfiks ke-an, bentuk “kanak-kanak” seharusnya menjadi “kekanak-kanakan”, bukan menjadi “kekanakan”.


Masih ada kasus lain yang dapat dikategorikan sebagai bentuk penyederhanaan dalam pemakaian BI. Pelanggan masakan padang pasti akrab dengan jenis lauk-pauk yang biasa disebut “cumi” dan “paru”. Bukankah nama lengkap dari kedua jenis lauk-pauk tersebut adalah “cumi-cumi” dan “paru-paru”? Kemudian, mengapa bisa “cumi-cumi” berubah menjadi “cumi” dan “paru-paru” berubah menjadi “paru”?


Alasan penyederhanaan (simplifikasi) sepertinya menjadi salah satu penyebabnya. Artinya, adanya kecenderungan untuk memunculkan bentuk-bentuk yang simpel memang sudah lumrah dalam berbahasa, khususnya dalam BI. Dalam batas-batas tertentu, hal itu masih bisa dimaklumi. Akan tetapi, kalau sudah tanpa kendali, bisa jadi simplifikasi akan memunculkan bentuk-bentuk yang simplistis, yaitu bentuk-bentuk yang bersifat terlalu disederhanakan sehingga tidak wajar.


Jangan-jangan, “lumba-lumba” bisa menjadi “lumba”, “kupu-kupu” menjadi “kupu”, “kura-kura” menjadi “kura”, dan “kunang-kunang” menjadi “kunang”. Jadi, yang betul itu “cumi” atau “cumi-cumi”?