Jumat, 17 Juli 2009

Sayur Ini Jangan, Sayur Itu Juga Jangan

oleh
Mahmud Fasya


Saat bingung mencari titik masuk yang pas untuk mengawali tulisan ringan ini, tiba-tiba saya teringat akan penggalan dialog yang populer dalam salah satu film Warkop DKI (Dono, Kasino, dan Indro). Penggalan dialog yang dimaksud kira-kira memuat percakapan seperti ini: “Ini jangan, ini jangan, dan ini juga jangan. Nah, ini sambal terasi. Ayo, dimakan!” Setelah mendapat komando untuk menyantap hidangan, salah seorang personil Warkop dengan terpaksa hanya makan nasi plus sambal terasi karena semua sayur yang ditunjuk selalu disebut jangan, jangan, dan jangan. Ujungnya bisa ditebak. Personil Warkop itu langsung sakit perut.

Bila dicermati, ada yang ganjil dalam percakapan tersebut. Mengapa saat menunjukkan sayur, penutur mengatakan, “Ini jangan, ini jangan, dan ini juga jangan”? Padahal, secara visual dapat ditangkap informasi bahwa orang yang menawarkan hidangan sama sekali tidak bermaksud untuk melarang personil Warkop agar jangan mencicipi sayur yang telah dihidangkan.

Untuk memahami percakapan tersebut, ternyata masih ada konteks lain yang harus diperhatikan. Secara verbal dan visual, dalam film tersebut juga terselip konteks yang menunjukkan bahwa percakapan tersebut terjadi dalam ranah keluarga yang berlatar belakang etnis Jawa. Dukungan konteks yang terakhir ini menjadi sangat penting untuk dilibatkan agar personil Warkop tidak keliru dalam memaknai kata jangan yang hadir dalam percakapan tersebut.

Kata jangan yang dalam bahasa Indonesia (BI) berparalel dengan bentukan tidak boleh ternyata sangat berbeda dengan kata jangan dalam bahasa Jawa (BJ) yang bermakna ‘sayur’. Walau terdapat perbedaan secara fonologis, ternyata penutur BI yang berlatar belakang etnis non-Jawa luput menyimak perbedaan itu. Akibatnya, pemaknaan yang keliru seperti dalam adegan film tersebut menjadi lumrah terjadi dalam khazanah komunikasi antaretnis di negeri ini.

Kasus yang sama juga terjadi dalam percakapan antara sopir dan kernet sebagaimana dapat diamati dalam dialog berikut ini:
Sopir : Cokot ganjelna!
Kernet : Atos.
Sopir : Mana? Buru cokot ganjelna!
Kernet : Atos.

Kalau dialog itu terus berlanjut, sopir dan kernet tersebut bisa bertengkar hebat gara-gara keliru dalam memahami tuturan mitra tuturnya. Mengapa demikian? Ternyata, dalam percakapan itu sang sopir menggunakan sistem semantik bahasa Sunda (BS), sedangkan sang kernet menggunakan sistem semantik BJ. Jadi, tentu saja akan timbul masalah karena setiap bahasa memiliki sistem semantik yang unik yang berlaku terbatas pada bahasa itu sendiri.

Dalam BS, kata cokot bermakna ‘ambil’, sedangkan dalam BJ kata cokot bermakna ‘gigit’. Kata atos juga begitu. Dalam BS, kata atos bermakna ‘sudah’, sedangkan dalam BJ kata atos bermakna ‘keras’. Karena perbedaan makna yang sangat kontras itu, dialog antara sopir dan kernet seperti dalam percakapan di atas sulit dicarikan titik temunya.

Selama kuliah di Jogja, saya juga pernah mengalami kejadian yang serupa dengan contoh di atas. Saat itu, pagi-pagi sekali, teman kuliah saya yang asli Magelang datang tiba-tiba ke tempat kos. Lalu, dengan terburu-buru sambil menuju ke arah kamar mandi, dia berkata, “Sori, tunggu bentar! Aku durung adhus.” Sebagai orang Sunda, saya langsung tertawa geli ketika menyimak tuturan tersebut.

Dalam benak saya, secara reflek hadir pemaknaan bahwa ‘teman yang dari Magelang itu tadi sebelum berangkat ke Jogja sempat “bercinta” dulu dengan istrinya dan tidak sempat mandi besar’. Pemaknaan itu hadir karena saya menggunakan sistem semantik BS yang memaknai adus sebagai ‘mandi besar’. Padahal, teman saya itu memiliki kerangka makna yang berbeda karena dia menggunakan sistem semantik BJ yang memaknai adhus sebagai ‘mandi’. Jadi, “pikiran kotor” itu semata-mata hadir karena adanya perbedaan sistem semantik yang digunakan oleh saya dan teman saya.

Secara umum, kasus-kasus kebahasaan seperti itu lazim dikelompokkan ke dalam kajian relasi makna, khususnya homonimi. Homonimi ialah hubungan antara kata yang ditulis dan atau dilafalkan dengan cara yang sama dengan kata yang lain, tetapi tidak mempunyai hubungan makna (Kridalaksana, 1984). Sebagian linguis membagi homonimi menjadi dua jenis, yaitu homografi dan homofoni (Wijana, 2008). Homografi kesamaannya terletak pada keidentikan ortografi (tulisan dan ejaan), seperti kata seri yang dapat bermakna ‘sinar’ /səri/ dan ‘jilid’ /seri/. Sementara itu, homofoni menyandarkan kesamaannya pada keidentikan bunyi dan pengucapan. Misalnya, kata bang dapat bermakna ‘kakak’ (dari abang), ‘yayasan keuangan’ (dari bank), ‘suara azan’, dan ‘tiruan bunyi peti jatuh’.

Sebagaimana uraian sebelumnya, bila terlalu banyak kata yang berhomonim (termasuk homograf dan homofon), hal ini akan memunculkan masalah. Artinya, hanya sedikit kata yang dapat dibedakan satu sama lain secara jelas. Banyak kata tak akan dapat dilambangi secara jelas. Akibatnya, akan muncul adanya kekeliruan dalam pemaknaan. Namun, untuk kasus homofoni, bisa jadi akan muncul juga kasus yang menggelikan seperti ini: “Jika malu bertanya, memang akan sesat di jalan. Akan tetapi, jika mak ‘lu bertanya, pasti mak gua yang jawab!”