" ...Mas Donny yang cucok, terus terang nih, akika jatuh cintrong sama yei. Kalau yei tintra membalas cinta akika, kika mawar bunuh diri di bawah pohon terate deh rasanya. Jadi, yei jangan tolak cinta kika, karena setiap malam mimpi akika cuma berisi yei punya body. Rasanya akika tintra bisa hidup tanpa yei, akika jadi tintra endang makasar, tintra bisa tidur nyenyak, tintra bisa melakukan apa-apa. Wajah Mas Donny selalu terbayang-bayang di mata ike, ke mana pun ike pergi. Suer!..."
Bagi remaja dekade 1980-an hingga 2000 awal, barangkali masih ingat sosok Lupus. Lelaki remaja yang gemar makan permen karet itu, diciptakan oleh penulis Hilman Hariwijaya. Ia sukses memotret kawula muda pada zamannya, melalui kisah-kisah kocak dalam novel Lupus.
Penggalan cerita di atas adalah salah-satu kutipan novel Lupus yang berjudul Bunga untuk Poppi yang terbit pada 2001. Pada novel itu, tokoh Fifi Alone (salah seorang teman Lupus) digambarkan sebagai remaja yang doyan menggunakan bahasa gaul. Sampai-sampai, berkirim surat kepada pujaan hatinya pun dengan menggunakan bahasa gaul. Fifi adalah salah seorang remaja yang kecanduan bahasa gaul, pada era itu memang sedang merasuki kalangan muda.
Bahasa gaul tak ubahnya seperti permainan kata-kata, yang memelesetkan kata-kata tertentu dengan kata lain. Misalnya kata aku diganti dengan akika, mau dengan mawar, tidak dengan tintra, enak dengan endang, makan dipelesetkan menjadi makasar.
Bahasa gaul semacam itu mulai populer pada dekade 1990-an. Bahkan pada 1999, komedian Debby Sahertian berhasil mengumpulkan kosakata bahasa gaul dalam Kamus Bahasa Gaul. Kini, buku itu sudah terbit tiga jilid.
Meski remaja umur belasan sekarang tidak banyak lagi yang menggunakan bahasa gaul, sebagaimana Fifi Alone dalam kisah Lupus, bahasa gaul itu telah sukses menjadi penanda zaman pada eranya. Bahkan, beberapa kosakata masih familiar hingga kini, "ember" (emang) dan "sutra" (sudah) menjadi warisan bahasa gaul yang masih diamalkan.
Sebelum bahasa gaul populer, remaja pada era 1980-an hingga awal 1990-an juga mempunyai bahasa pergaulan. Istilan bokap dan nyokap (bapak dan ibu) merupakan warisan bahasa prokem -sebutan bahasa gaul kala itu- yang hingga kini tetap dipakai oleh remaja.
Konon, bahasa prokem adalah bahasa sandi yang beredar di kalangan preman, supaya aktivitasnya tidak terendus oleh pihak lain, terutama polisi. Sandi-sandi itu tidak dibuat sembarangan. Sesudah huruf pertama diisi "ok", lalu biasanya huruf atau suku kata terakhir kata itu dihilangkan. Isitilah prokem juga didapat dari rumus itu. Asal katanya preman, pr + ok + em (an dihilangkan). Begitu pula dengan bokap (bapak), nyokap (nyak, ibu dalam bahasa Betawi), bokep (BF/blue film, ep berasal dari konsonan f yang dibaca p). Di Yogyakarta, kita mengenal pemelesetan bahasa melalui kata yang sangat populer, "dagadu" (matamu) yang menggunakan susunan huruf Jawa hanacaraka sebagai rumusannya. Begitu juga di Malang, Jawa Timur yang rumusnya merupakan kebalikan dari kata sebenarnya, misalnya wedok (wanita) menjadi kode (w nya dihilangkan), serta banyak lagi.
Entah siapa yang menciptakannya, tetapi bahasa prokem sudah berhasil menjadi penanda bagi remaja pada era itu. Seiring waktu, bahasa prokem mulai tenggelam, sebagian bermatomorfosa sampai muncul bahasa gaul lain, yang digunakan anak-anak remaja masa kini.
Rasmuz, seorang penyiar di Radio Ardan Bandung, menyebut sekarang adalah generasi alay atau singkatan dari anak lebay. "Lebay itu berlebihan," ujarnya.
Tidak seperti bahasa prokem, bahasa alay tidak mengenal rumus. Setiap kata yang dimaksud, huruf-huruf penyusunnya diganti dengan huruf atau angka, yang kalau dibaca menyerupai kata yang dimaksud. Misalnya kamu menjadi kmuwh, iya menjadi eeah. Bisa juga dikombinasi dengan angka dan tanda baca, misalnya sl3s4! (selesai), d4h (sudah) dan sebagainya. Hebatnya, bukan hanya Bahasa Indonesia yang terkena pengaruh alay. Bahasa Inggris dan Sunda juga bisa di-alay-kan.
"Bahasa ini muncul sejak buming internet. Berbagai jejaring sosial seperti friendster dan facebook jadi awal mula. Mereka mengeksplore tulisan, diutak-atik jadilah seperti itu. Apalagi, sekarang bisa up date status di facebook dari handphone. Semakin sering kan bosen kalau nulisnya biasa-biasa saja," katanya.
Rasmuz yang umurnya sebenarnya bukan anak baru gede (ABG) lagi, pada mulanya cukup kesulitan ketika membaca pesan singkat yang dikirim ke radionya, sebagai bentuk interaksi dengan pendengarnya. "Akan tetapi, lama-lama ya terbiasa juga. Biar pun kita ga seumur, tetapi mereka tahu kalau saya juga paham. Jadi, sama pendengar tercipta kedekatan," katanya.
Menurut dia, pelajar SMP dan SMA yang paling banyak menggunakan bahasa alay. "Anak kuliahan juga ada, biasanya semester-semester awal yang masih ada pengaruh alay waktu masih SMA," katanya.
**
Bahasa pergaulan pada umumnya, digunakan untuk kalangan tertentu. Apalagi, bahasa memang berasal dari kesepakatan sekelompok orang yang menggunakannya.
Pengajar Bahasa Indonesia dari Universita Pendidikan Indonesia (UPI) Andika Dutha Bachari mengatakan, semua penutur bahasa mempunyai naluri yang sama. Naluri untuk berekspresi dan mempunyai rahasia. Maka sangat wajar jika kalangan preman menciptakan prokem agar tidak diendus polisi, atau remaja menggunakan bahasa alay agar aktivitasnya tidak terpantau orang lain.
Bahasa bersifat dinamis dan penuturnya bersifat kreatif. Dengan demikian, bahasa mengalami perkembangan dan perubahan. Seperti halnya bahasa pergaulan yang setiap dekade mempunyai ciri yang berbeda. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang juga dipakai sebagai saluran berbahasa. Bahasa alay buktinya. Bahasa ini lebih kentara dalam bahasa tulis, karena kemunculannya dipicu oleh penggunaan komputer, internet, dan telefon seluler dengan SMS-nya (short massage service). "Mereka akan mencari bentuk baru, yang sesuai dengan salurannya," kata Andika.
Uniknya, bahasa pergaulan yang sebenarnya diciptakan untuk kalangan terbatas justru berkembang menjadi bahasa pergaulan yang digunakan bahasa sehari-hari. "Hal itu, karena terjadi kebocoran ragam bahasa. Bocor dari kelompok sosial tertentu ke kelompok sosial lainnya," ujar Andika.
Kebocoran semacam itu mengakibatkan penggunaan bahasa gaul menjadi melebar, juga menimbulkan penilaian miring. Misalnya pengguna bahasa alay, dikonotasikan sebagai anak manja dengan intelejensi yang rendah. Atau pengguna bahasa prokem yang dicap kampungan. Hal itu bisa saja terjadi, karena penilaian itu datang dari kelompok sosial lain, bukan dari kelompok bahasa itu berasal dan digunakan.
"Ini bukan soal benar atau salah. Ini fenomena wajar jadi jangan dianggap sebagai dosa berbahasa. Tidak bisa dianggap aib. Ini konsekuensi logis orang, yang hidup berhadapan dengan berbagai realita," katanya.
Pendapat serupa juga dikatakan oleh Mahmud Fasya, pengajar Bahasa Indonesia di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. "Yang terpenting mereka mampu menempatkannya sesuai dengan situasi. Pendidikan Bahasa Indonesia itu seharusnya diarahkan ke sana, menanamkan kemampuan menggunakan bahasa yang tepat sesuai dengan situasinya," katanya.
Kekhawatiran merusak tatanan Bahasa Indonesia juga tidak perlu. Sebab, menurut dia, potensinya kecil. Sebab, bahasa-bahasa pergaulan itu hanya sebagai sarana berekspresi. Tidak untuk komunikasi formal. Berbeda dengan kondisi di beberapa negara Eropa, Singapura atau Australia, yang saat ini sedang didorong untuk memformalkan bahasa pergaulan di sekolah, sehingga bisa digunakan untuk menjawab soal-soal ujian. (Catur Ratna Wulandari/"PR")***
Penulis:
Back
© 2009 - Pikiran Rakyat Bandung.
"Bandung Linguistic Circle" (BLC) sengaja dilahirkan sebagai ajang berbagi keresahan dalam hiruk-pikuk tradisi linguistik yang masih terasing di dunianya sendiri.
Selasa, 15 Desember 2009
Penganut Ideologi Alay!?
"ENggak tahu siapa yang memulai atau dari mana asalnya. Awalnya hanya coba-coba untuk kirim SMS. Karena bagus, ya ditiru," kata Anastasia Ayudea (16) mencoba mengingat kembali dari mana ia mengenal bahasa alay (anak lebay).
Menurut siswi kelas II SMA itu, bahasa alay jenisnya bermacam-macam, tetapi kebanyakan untuk bahasa tulis. Ada yang mencampur antara huruf besar dan kecil, ada juga yang menggabungkan huruf dengan angka bahkan tanda baca.
"Kalau saya sih enggak terlalu suka dengan yang huruf angka karena tidak semua ngerti. Saya aja bacanya sulit, apalagi yang lain," kata Dea, sapaan akrabnya. Beberapa kata yang kerap ia gunakan adalah mengganti saya dengan saiia, sangat ditulis dengan sangadt.
Dea sendiri tidak begitu suka dengan teman-temannya yang terlalu alay. "Ada juga teman yang selalu ber-alay-alay, aduh lebay juga ya. Yang baca pusing. Awalnya dia pakai itu biar status di facebooknya dibaca orang, supaya eksis. Tetapi yang baca aja enggak paham, ya akhirnya malah enggak dibaca," katanya.
Bagaimana mengetahui gaya-gaya baru penulisan ala alay ini? Selain dari teman, itu bisa didapat dari internet. Di internet, ada situs yang bisa menerjemahkan kata-kata biasa menjadi bahasa alay. Bahkan, ada yang bisa diunduh dan disimpan di telefon seluler.
Ia mengaku, awalnya hanya untuk lucu-lucuan. Sebab penulisan huruf-huruf yang dicampur aduk itu tampak menarik. Lama-kelamaan kreativitas yang lain menyusul. Tak hanya dicampur dengan huruf besar kecil, tetapi juga dengan angka, tanda baca, dan berbagai simbol.
Saking seringnya, apa tidak khawatir akan terbawa saat sekolah? "Ya kalau ketahuan pakai huruf-huruf begitu mungkin nilaiku bisa dikurangi, apalagi aku jurusan bahasa. Hal-hal yang seperti itu diperhatikan sekali," katanya.
Putri Indraswari (17), siswa kelas III SMA ini kadang menggunakan bahasa alay saat corat-coret di buku hariannya atau berkomunikasi tulis dengan teman sebayanya. "Seru aja! Lucu, apalagi lagi tren juga," ujarnya. Tetapi, tidak untuk menulis pelajaran sekolah, apalagi yang nantinya diperiksa guru.
Bahasa alay yang digunakan remaja ditangkap pula oleh Irfan Arif Harmani, seorang pengajar di salah satu SMP di Kota Bandung. Bahasa itu ia ketahui dari SMS yang dikirim siswa siswinya. "Kadang bingung juga membacanya itu," ujarnya.
Namun, guru bahasa Inggris itu belum menemukan siswanya yang kebablasan menggunakan bahasa alay di tugas sekolah atau di lembar jawaban ujian. Hanya, model penulisan seperti yang ia terima di SMS banyak ia temukan di coretan-coretan di bangku atau dinding sekolah.
Meski tampaknya bahasa ini hanya berkembang untuk ragam bahasa tulis, Rasmuz, penyiar Radio Ardan Bandung punya pengalaman lain. Menurut dia, bahasa alay tidak hanya pada tulis. Ia memperhatikan perilaku-perilaku para alay ini. "Biasanya dia ngomongnya dimanja-manjain. Mereka senang sekali bergaya lucu dan imut. Menampakkan sifat kekanakannya," katanya.
Bahkan, ia memperhatikan cara berpenampilan dan bergaya anak lebay (alay) ini. "Lebay itu kan berlebihan, kadang beberapa hal dalam dirinya juga berlebihan. Misalnya dandannya, banyak remaja yang berdandan lebih dewasa dari umur yang sebenarnya. Cara-cara mereka pose di foto banyak yang menonjolkan pipinya. Pose-pose up close. Pokoknya yang menunjukkan mereka manja dan imut," katanya.
Bisakah bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan perilaku pemakainya?
Pengajar bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia Andika Dutha Bachari mengatakan, bahasa merupakan cerminan berpikir seseorang. Sebab, aktivitas berbahasa merupakan kegiatan memilih. Bukan aktivitas yang tidak sengaja. Maka melalui bahasa bisa diketahui pula ideologi seseorang.
"Tetapi, karena proses berpikir pemilihan bahasa ini dianggap lazim sehingga tidak terlihat dan tidak disadari. Manusia hidup ini berhadapan dengan banyak kode. Mereka harus memilih kode yang akan digunakan. Dan ketika salah memilih kode maka akan menimbulkan konsekuensi," katanya.
Penilaian-penilaian yang timbul sebenarnya lebih pada perilaku penuturnya. Jika perilakunya baik, bahasa yang dipakai dianggap baik. Jika bahasa itu dinilai negatif, sebenarnya yang negatif adalah perilakunya bukan bahasa itu sendiri.
"Contohnya mengapa bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa internasional. Itu juga lebih disebabkan pada perilaku penuturnya yang dinilai pintar, maju, dan modern," kata Mahmud Fasya, pengajar bahasa Indonesia UPI yang lain.
Ia memperkirakan bahasa gaul saat ini punya peluang bertahan lama. Apalagi jika penuturnya mewariskan bahasa tersebut pada generasi selanjutnya. Sehingga bukan tidak mungkin bahasa alay juga akan meninggalkan warisan sebagaimana bahasa pergaulan sebelum-sebelumnya.
Bila bahasa mencerminkan ideologi, bagi anak-anak remaja penutur bahasa alay, ideologinya apa ya. Mungkinkah mereka juga berideologi alay!? (Catur Ratna Wulandari/"PR") ***
Penulis:
Back
© 2009 - Pikiran Rakyat Bandung.
Menurut siswi kelas II SMA itu, bahasa alay jenisnya bermacam-macam, tetapi kebanyakan untuk bahasa tulis. Ada yang mencampur antara huruf besar dan kecil, ada juga yang menggabungkan huruf dengan angka bahkan tanda baca.
"Kalau saya sih enggak terlalu suka dengan yang huruf angka karena tidak semua ngerti. Saya aja bacanya sulit, apalagi yang lain," kata Dea, sapaan akrabnya. Beberapa kata yang kerap ia gunakan adalah mengganti saya dengan saiia, sangat ditulis dengan sangadt.
Dea sendiri tidak begitu suka dengan teman-temannya yang terlalu alay. "Ada juga teman yang selalu ber-alay-alay, aduh lebay juga ya. Yang baca pusing. Awalnya dia pakai itu biar status di facebooknya dibaca orang, supaya eksis. Tetapi yang baca aja enggak paham, ya akhirnya malah enggak dibaca," katanya.
Bagaimana mengetahui gaya-gaya baru penulisan ala alay ini? Selain dari teman, itu bisa didapat dari internet. Di internet, ada situs yang bisa menerjemahkan kata-kata biasa menjadi bahasa alay. Bahkan, ada yang bisa diunduh dan disimpan di telefon seluler.
Ia mengaku, awalnya hanya untuk lucu-lucuan. Sebab penulisan huruf-huruf yang dicampur aduk itu tampak menarik. Lama-kelamaan kreativitas yang lain menyusul. Tak hanya dicampur dengan huruf besar kecil, tetapi juga dengan angka, tanda baca, dan berbagai simbol.
Saking seringnya, apa tidak khawatir akan terbawa saat sekolah? "Ya kalau ketahuan pakai huruf-huruf begitu mungkin nilaiku bisa dikurangi, apalagi aku jurusan bahasa. Hal-hal yang seperti itu diperhatikan sekali," katanya.
Putri Indraswari (17), siswa kelas III SMA ini kadang menggunakan bahasa alay saat corat-coret di buku hariannya atau berkomunikasi tulis dengan teman sebayanya. "Seru aja! Lucu, apalagi lagi tren juga," ujarnya. Tetapi, tidak untuk menulis pelajaran sekolah, apalagi yang nantinya diperiksa guru.
Bahasa alay yang digunakan remaja ditangkap pula oleh Irfan Arif Harmani, seorang pengajar di salah satu SMP di Kota Bandung. Bahasa itu ia ketahui dari SMS yang dikirim siswa siswinya. "Kadang bingung juga membacanya itu," ujarnya.
Namun, guru bahasa Inggris itu belum menemukan siswanya yang kebablasan menggunakan bahasa alay di tugas sekolah atau di lembar jawaban ujian. Hanya, model penulisan seperti yang ia terima di SMS banyak ia temukan di coretan-coretan di bangku atau dinding sekolah.
Meski tampaknya bahasa ini hanya berkembang untuk ragam bahasa tulis, Rasmuz, penyiar Radio Ardan Bandung punya pengalaman lain. Menurut dia, bahasa alay tidak hanya pada tulis. Ia memperhatikan perilaku-perilaku para alay ini. "Biasanya dia ngomongnya dimanja-manjain. Mereka senang sekali bergaya lucu dan imut. Menampakkan sifat kekanakannya," katanya.
Bahkan, ia memperhatikan cara berpenampilan dan bergaya anak lebay (alay) ini. "Lebay itu kan berlebihan, kadang beberapa hal dalam dirinya juga berlebihan. Misalnya dandannya, banyak remaja yang berdandan lebih dewasa dari umur yang sebenarnya. Cara-cara mereka pose di foto banyak yang menonjolkan pipinya. Pose-pose up close. Pokoknya yang menunjukkan mereka manja dan imut," katanya.
Bisakah bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan perilaku pemakainya?
Pengajar bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia Andika Dutha Bachari mengatakan, bahasa merupakan cerminan berpikir seseorang. Sebab, aktivitas berbahasa merupakan kegiatan memilih. Bukan aktivitas yang tidak sengaja. Maka melalui bahasa bisa diketahui pula ideologi seseorang.
"Tetapi, karena proses berpikir pemilihan bahasa ini dianggap lazim sehingga tidak terlihat dan tidak disadari. Manusia hidup ini berhadapan dengan banyak kode. Mereka harus memilih kode yang akan digunakan. Dan ketika salah memilih kode maka akan menimbulkan konsekuensi," katanya.
Penilaian-penilaian yang timbul sebenarnya lebih pada perilaku penuturnya. Jika perilakunya baik, bahasa yang dipakai dianggap baik. Jika bahasa itu dinilai negatif, sebenarnya yang negatif adalah perilakunya bukan bahasa itu sendiri.
"Contohnya mengapa bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa internasional. Itu juga lebih disebabkan pada perilaku penuturnya yang dinilai pintar, maju, dan modern," kata Mahmud Fasya, pengajar bahasa Indonesia UPI yang lain.
Ia memperkirakan bahasa gaul saat ini punya peluang bertahan lama. Apalagi jika penuturnya mewariskan bahasa tersebut pada generasi selanjutnya. Sehingga bukan tidak mungkin bahasa alay juga akan meninggalkan warisan sebagaimana bahasa pergaulan sebelum-sebelumnya.
Bila bahasa mencerminkan ideologi, bagi anak-anak remaja penutur bahasa alay, ideologinya apa ya. Mungkinkah mereka juga berideologi alay!? (Catur Ratna Wulandari/"PR") ***
Penulis:
Back
© 2009 - Pikiran Rakyat Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)