KONSEP NASI DALAM BAHASA SUNDA:
STUDI ANTROPOLINGUISTIK DI KAMPUNG NAGA,
KECAMATAN
SALAWU, KABUPATEN TASIKMALAYA
Rizki Hidayatullah
& Mahmud Fasya
Universitas
Pendidikan Indonesia
rizkihidayatullah73@yahoo.co.id
1.
Pengantar
Sejumlah
kelompok etnik di Indonesia memiliki cara yang khas untuk mengungkapkan konsep nasi
dalam bahasanya. Keunikan cara pengungkapan tersebut mencerminkan keragaman realitas
dan budaya yang melatarbelakanginya. Salah satu kelompok etnik yang memiliki
konsep unik tentang nasi adalah masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya,
Jawa Barat. Mereka mengenal berbagai leksikon yang berkaitan dengan nasi,
seperti ditutu [ditutu] ‘ditumbuk’, ditapian [ditapi?an] ‘diayak’, diisikan [di?isikan] ‘dicuci’, dikarihan [dikarihan] ‘dimasak setengah
matang’, diseupan [disəpan]
‘ditanak’, dan diakeul
[di?akeəl] ‘diaduk perlahan setelah matang’. Leksikon-leksikon tersebut
memiliki makna yang khas bagi masyarakat adat Kampung Naga yang masih memegang
teguh nilai-nilai kearifan lokalnya.
Kajian
mengenai konsep nasi ini penting dilakukan karena dapat mengungkap keunikan
masyarakat adat Kampung Naga khususnya dan masyarakat Sunda umumnya dalam
memandang nasi sebagai suatu hal yang penting dalam kehidupan mereka. Kajian
ini setidaknya melibatkan dua disiplin ilmu, yaitu linguistik antropologis (anthropological
linguistics) dan antropologi linguistik (linguistic anthropology). Artinya, kajian tentang konsep
nasi dalam suatu bahasa tidak hanya dilakukan secara terbatas di dalam konteks
linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih
luas sehingga mampu menjangkau fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan
(Foley, 2001). Topik ini masih belum ada yang mengeksplorasinya secara khusus
dan mendalam. Adapun penelitian Jaenudin, dkk. (2011) hanya mengkaji konsep padi
di Kampung Naga. Selain itu, Retno,
dkk. (2011) hanya mengkaji ragam jenis makanan tradisional di Kampung Naga.
Keduanya tidak menyinggung konsep nasi, khususnya dari sisi bahasa dan
kebudayaan.
Ada
tiga rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini: (1)
bagaimana klasifikasi dan deskripsi
leksikon konsep nasi di Kampung Naga berdasarkan satuan lingual; (2) bagaimana
fungsi leksikon konsep nasi bagi masyarakat adat Kampung Naga; (3) bagaimana
cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan leksikon konsep nasi yang
digunakan oleh masyarakat adat Kampung Naga. Untuk menjawab
masalah tersebut, tahap pengumpulan data dimulai dengan mencatat leksikon
konsep nasi yang digunakan masyarakat di Kampung Naga. Data-data tersebut juga
dilengkapi dengan meminta bantuan beberapa informan yang merupakan warga asli
Kampung Naga, yakni para ibu rumah tangga di Kampung Naga. Informan tidak hanya
membantu memberi informasi tentang leksikon konsep nasi, tetapi sekaligus
memberikan contoh konteks pemakaiannya. Setelah dikumpulkan dan dicatat bersama
konteksnya, data-data diklasifikasikan berdasarkan bentuk lingual dan
fungsinya, lalu diungkap cerminan gejala kebudayaannya.
2. Klasifikasi dan Deskripsi
Leksikon Konsep Nasi dalam Bahasa Sunda
Dari hasil penelitian diperoleh
leksikon yang menyatakan konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga. Leksikon
tersebut dianalisis sesuai
dengan klasifikasi dan deskripsi satuan
lingualnya, ditafsirkan fungsi budayanya, dan pada akhirnya dikuak cerminan
kearifan lokal di balik penggunaan leksikon tersebut. Berikut ini merupakan
leksikon-leksikon konsep
nasi yang digunakan masyarakat adat Kampung Naga: ditutu ‘ditumbuk’, ditapian ‘diayak
menggunakan pengayak beras’, diisikan ‘dicuci
hingga bersih’, dikarihan ‘dimasak
setengah matang’, diseupan ‘ditanak’, diakeul ‘diaduk
perlahan’, halu ‘kayu
penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk
menumbuk padi berbentuk persegi panjang’, tampir
‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru
‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’,
jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah
yang masih menempel pada beras’, hihid
‘kipas’, langseng ‘alat untuk
menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh
‘kayu bakar’, hawu ‘perapian’, dulang ‘alat untuk meyimpan nasi
setengah matang’, galo ‘alat pengaduk
nasi setengah matang’, aseupan
‘kukusan beras’, cukil ‘alat pengaduk
nasi’, cai ‘air’, beas ‘beras’, songsong ‘peniup perapian’, dan
sangu ‘nasi’. Adapun pengelompokannya dapat dilihat pada tebel berikut:
Leksikon
Konsep Nasi Masyarakat Adat Kampung Naga
No.
|
Leksikon
Kegiatan
|
Leksikon
Peralatan dan Bahan yang
Digunakan
|
Makna
Leksikal
|
1.
|
ditutu
|
halu,
lisung, jubleg, tampir, gabah
|
Proses menumbuk gabah menjadi beras
|
2.
|
ditapian
|
nyiru, beas
|
Proses memisahkan gabah yang masih menempel
pada beras setelah dilakukan penumbukan
|
3.
|
diisikan
|
boboko,
cai, beas
|
Proses membersihkan beras dengan air
menggunakan bakul
|
4.
|
dikarihan
|
dulang,
galo, beas, cai
|
Proses memasak
nasi hingga setengah matang
|
5.
|
diseupan
|
songsong,
langseng, hawu, aseupan, suluh, cai, beas
|
Proses mengukus
beras yang sebelumnya sudah dimasak
setengah matang
|
6.
|
diakeul
|
boboko,
cukil, hihid, sangu
|
Proses mengaduk
sambil menghilangkan uap panas dengan kipas sehingga nasi menjadi pulen
|
Boas (1966: 59) dalam Palmer (1999: 11)
mengatakan bahwa bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental
penuturnya. Lebih lanjut, hasil observasi Boas menunjukkan bahwa bahasa
mendasari pengklasifikasian pengalaman sehingga berbagai bahasa
mengklasifikasikan pengalaman secara berbeda dan pengklasifikasian semacam itu
tidak selalu disadari oleh penuturnya. Adapun leksikon konsep nasi dalam bahasa
Sunda dapat diklasifikasikan menjadi dua
kelompok: (1)
kegiatan, serta (2)
alat dan bahan. Sebelumnya, leksikon tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan bentuk lingualnya agar dapat diketahui
keidentikan satuan lingual tersebut dengan kekayaan proses budaya dan
produk budaya tentang konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga.
Leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga
merujuk pada satuan-satuan lingual tertentu, seperti leksikon yang termasuk ke dalam
bentuk kata berimbuhan atau pun
bentuk dasar; begitu pun dari sisi kelas katanya. Berdasarkan pengamatan di
lapangan dapat diketahui bahwa satuan lingual leksikon konsep nasi masyarakat adat
Kampung Naga seluruhnya berbentuk kata. Beberapa di antaranya merupakan kata
berafiks: (1) kata berprefiks dan (2) kata berkonfiks.
Dari
tabel di atas terdapat beberapa leksikon yang menggunakan prefiks, seperti ditutu ‘ditumbuk’, diseupan ‘ditanak’,
dan diakeul ‘diaduk perlahan’:
(1)
di- + tutu ‘tumbuk’ à ditutu ‘ditumbuk
agar beras terpisah dari gabah’
(2)
di- + seupan ‘tanak’ à diseupan ‘ditanak’
(3)
di- + akeul ‘aduk perlahan’ à diakeul ‘diaduk perlahan’
Dari
tabel di atas terdapat beberapa leksikon yang menggunakan konfiks, seperti diisikan ‘dicuci hingga bersih’,
dikarihan ‘dimasak setengah matang’, dan ditapian ‘diayak menggunakan pengayak
beras’:
(1)
di-an + isik ‘cuci’ à diisikan ‘dicuci hingga bersih’
(2)
di-an + karih ‘masak setengah matang’ à dikarihan ‘dimasak setengah matang’
(3)
di-an + tapi ‘ayak’ à ditapihan ‘diayak menggunakan pengayak
beras’
Leksikon
konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga juga diklasifikasikan berdasarkan
kelas katanya. Leksikon-leksikon tersebut cenderung termasuk ke dalam kelas
kata nomina, seperti halu ‘kayu
penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk
menumbuk padi berbentuk persegi panjang’, tampir
‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru
‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’,
jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah
yang masih menempel pada beras’, hihid
‘kipas’, langseng ‘alat untuk
menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh
‘kayu bakar’, hawu ‘perapian’, dulang ‘alat untuk meyimpan nasi
setengah matang’, galo ‘alat pengaduk
beras setengah matang’, aseupan
‘kukusan beras’, cukil ‘alat pengaduk
nasi’, cai ‘air’, beas ‘beras’, songsong ‘peniup perapian’, dan
sangu ‘nasi’. Semua nomina tersebut
memotret kekayaan produk budaya tentang nasi di Kampung Naga. Ada juga kelas
kata verba yang menggambarkan kekayaan proses budaya tentang nasi di Kampung
Naga, seperti ditutu, ditapi, diisikan,
dikarihan, diseupan, dan diakeul
yang berkaitan dengan aktivitas atau proses menanak nasi di Kampung Naga.
Selanjutnya, leksikon
konsep nasi ini diklasifikasikan menjadi dua
kelompok: (1)
kegiatan, serta (2)
alat dan bahan. Pertama, leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga dikelompokkan berdasarkan
bentuk kegiatan atau aktivitas menanak nasi. Leksikon dalam kelompok ini dibagi
menjadi tiga: (1) leksikon pada tahap pramenanak, (2) leksikon pada tahap menanak,
dan (3) leksikon pada tahap pascamenanak. Dalam tahap pramenanak, masyarakat
adat Kampung Naga melakukan proses ditutu,
ditapihan, dan diisikan. Ditutu
merupakan proses menumbuk padi yang sudah kering (gabah) di dalam kuali
besar yang terbuat dari kayu dengan menggunakan halu hingga kulit gabah terlepas dan menjadi beras. Setelah kulit
gabah terlepas dan menjadi beras, proses selanjutnya adalah ditapi. Ditapi merupakan proses membersihkan gabah yang masih
menempel pada beras dengan cara diayak menggunakan nyiru hingga beras benar-benar bersih dari gabah. Setelah benar-benar
bersih, beras tersebut diisikan. Diisikan merupakan proses mencuci beras
dengan air bersih. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang
menempel pada beras.
Setelah pramenanak, tahap selanjutnya
adalah menanak nasi. Tahap menanak meliputi dua proses, yaitu ngarihan dan nyeupan. Leksikon ngarihan atau dikarihan adalah leksikon yang berkaitan
dengan kegiatan pertama dalam proses menanak. Ngarihan adalah proses memasak atau menyiram beras dengan air panas
hingga nasi menjadi setengah matang. Setelah
itu, proses selanjutnya ialah diseupan. Diseupan adalah proses mengukus beras yang sudah setengah matang hingga menjadi nasi
yang benar-benar matang. Nasi yang matang inilah yang disebut sangu. Dalam proses ini dibutuhkan waktu
yang cukup lama tergantung dari banyaknya beras yang dimasak dan juga
kestabilan dari perapian yang digunakan. Setelah melalui proses pramenanak dan
menanak, tahap selanjutnya adalah pascamenanak. Pada tahap ini hanya dilakukan
satu kali proses, yaitu diakeul. Diakeul
adalah leksikon yang merujuk pada kegiatan mengaduk secara
perlahan
nasi yang sudah matang dengan menggunakan cukil
‘alat pengaduk nasi’. Selain itu, juga dilakukan pengipasan dengan menggunakan hihid ‘kipas’ untuk mengurangi suhu
panas pada nasi yang baru matang. Proses
ini dilakukan untuk menghilangkan uap air dari nasi yang masih panas sekaligus
membuat nasi menjadi lebih pulen. Setelah beberapa proses tersebut dilakukan,
nasi pun siap untuk dikonsumsi.
Kedua, dalam
menanak nasi masyarakat adat Kampung Naga juga menggunakan berbagai peralatan
dan bahan yang khas. Peralatan
tersebut diklasifikasikan berdasarkan waktu penggunaannya yaitu pramenanak,
saat menanak, dan pascamenanak. Peralatan dan bahan yang digunakan pada tahap
pramenanak adalah halu ‘kayu penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk menumbuk padi
berbentuk persegi panjang’, tampir
‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru
‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’,
jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah
yang masih menempel pada beras’, beas
‘beras’, cai ‘air’. Selanjutnya,
peralatan yang digunakan pada tahap menanak nasi adalah langseng ‘alat untuk menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh ‘kayu bakar’, songsong ‘peniup perapian’, hawu
‘perapian’, dulang ‘alat untuk
meyimpan nasi setengah matang’, galo
‘alat pengaduk beras setengah matang’, dan aseupan
‘kukusan’. Kemudian, peralatan yang termasuk dalam tahap pascamenanak adalah boboko ‘bakul’, hihid ‘kipas’, dan cukil
‘alat pengaduk nasi’. Selain digunakan pada tahap pramenanak sebagai tempat untuk
mencuci beas ‘beras’, boboko ‘bakul’ juga digunakan pada tahap
pascamenanak sebagai wadah untuk menyimpan nasi yang telah matang.
3. Fungsi Leksikon
Konsep Nasi bagi Masyarakat Adat Kampung Naga
Ada hubungan
yang sangat erat antara kehidupan suatu masyarakat dan leksikon bahasanya
(Wierzbicka, 1997: 1). Artinya, fungsi leksikon konsep nasi di Kampung Naga
juga sangat berkaitan dengan aktivitas hidup masyarakat adat Kampung Naga yang
menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa kesehariannya. Fungsi leksikon konsep
nasi dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi: (1) fungsi individual, (2) fungsi sosial, dan (3) fungsi pengetahuan.
Pertama, leksikon
konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi individual karena
sejumlah leksikon tersebut berkaitan dengan kegiatan pemenuhan kebutuhan dan
kepuasaan individual. Konsep menanak nasi dari mulai proses awal ditutu ‘ditumbuk’ sampai pada proses
akhir diakeul ‘diaduk dan dikipas
secara perlahan’ sebenarnya merupakan jenis leksikon yang berkaitan dengan
fungsi pemenuhan kebutuhan dan kepuasaan individual karena pada akhirnya proses
menanak nasi menjadi proses yang dilakukan oleh individu untuk memenuhi
kebutuhan individu tersebut dalam hal kebutuhan lahiriah.
Kedua, leksikon konsep
nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi sosial karena ada beberapa
leksikon yang berhubungan dengan aktivitas sosial masyarakat Kampung Naga yang
menggambarkan interaksi sosial yang terjalin antarmasyarakat di Kampung Naga.
Sebagai contoh, leksikon ditutu ‘ditumbuk’
menunjukkan kegiatan menumbuk padi yang ternyata biasa dilakukan secara
bersamaan oleh masyarakat adat Kampung Naga. Hal tersebut memang sudah menjadi
tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Naga dalam proses
pramenanak nasi. Selain itu, terdapat leksikon ditapian ‘diayak’ yang
menunjukkan kegiatan mengayak beras atau memisahkan beras agar tidak tercampur
dengan gabah yang masih menempel. Kegiatan ini pun ternyata dilakukan secara
bersama oleh masyarakat adat Kampung Naga ketika beras sudah selesai ditutu ‘ditumbuk’.
Ketiga, leksikon konsep
nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi pengetahuan karena banyak
leksikon konsep nasi yang dapat memberi pengetahuan tentang suatu hal.
Contohnya, leksikon dikarihan atau ngarihan ‘membauat nasi menjadi setengah
matang’ merupakan salah satu cara
masyarakat adat Kampung Naga untuk menjadikan nasi menjadi mudah matang. Kemudian,
leksikon diakeul menunjukkan kegiatan
mengaduk dan mengipas nasi yang telah matang agar nasi menjadi lebih pulen dan nikmat
untuk dikonsumsi. Selain untuk membuat nasi menjadi pulen, proses diakeul juga menyiratkan pengetahuan
masyarakat adat Kampung Naga terhadap mitos-mitos yang ada, seperti mitos Dewi
Sri (Dewi Padi) yang diyakini sebagai utusan Tuhan yang bertugas memberikan
limpahan hasil pangan. Selain itu, banyaknya leksikon yang menunjukkan
peralatan yang digunakan dalam menanak nasi, seperti boboko, halu, hihid, suluh, songsong, hawu, galo, cubleg, dan lisung, yang umumnya dibuat langsung
oleh masyarakat adat Kampung Naga, secara tidak langsung memperlihatkan betapa
masyarakat adat Kampung Naga memiliki pengetahuan yang luas dalam membuat
kerajinan dari bahan-bahan yang disediakan oleh alam, khususnya dalam membuat
peralatan rumah
tangga.
4. Cerminan Gejala Kebudayaan Berdasarkan
Leksikon Konsep Nasi Masyarakat Adat Kampung
Naga
Wierzbicka
(1997: 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan menceritakan karakteristik
cara hidup dan cara berpikir penuturnya, serta dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai
dalam upaya memahami budaya penuturnya. Begitu pun halnya dengan leksikon
konsep nasi masyarakat di Kampung Naga, leksikon tersebut dapat memberikan
gambaran tentang pandangan kolektif masyarakat adat Kampung Naga terhadap
dunianya. Lahan yang luas dengan berbagai jenis tanaman yang tumbuh subur
membuat warga Kampung Naga dapat memanfaatkan kekayaan alam yang mereka miliki
sebagai sumber daya yang sangat menguntungkan bagi mereka. Penggunaan peralatan,
khususnya peralatan dapur yang cenderung terbuat dari bahan yang tersedia di
alam seperti kayu dan bambu, mencerminkan betapa warga Kampung Naga benar-benar
memanfaatkan kondisi alam di sekitar mereka sebagai sumber daya yang bermanfaat
bagi mereka. Hal
tersebut tercermin dari leksikon yang digunakan untuk menyatakan konsep nasi di
masyarakat adat Kampung Naga. Masyarakat adat Kampung Naga cenderung
menggunakan peralatan yang langsung didapat dari alam sekitar mereka, seperti tampir, halu, lisung, hihid, cubleg, hawu,
suluh, songsong, boboko, dan nyiru.
Leksikon-leksikon tersebut tidak terlepas dari budaya sekitar atau kearifan
lokal yang berlaku di Kampung Naga. Pengetahuan praktis masyarakat Kampung Naga
tentang ekosistem lokal, sumber daya alam, dan bagaimana mereka saling
berinteraksi tercermin di dalam aktivitas keseharian yang mencakup keterampilan
mereka dalam mengelola sumber daya alam.
Selain
pengetahuan masyarakat adat Kampung Naga dalam memanfaatkan sumber daya alam
yang ada di sekitarnya, ternyata masyarakat adat Kampung Naga juga mengenal
atau mengetahui adanya mitos-mitos tertentu yang masih dipegang teguh hingga
saat ini. Contohnya, masyarakat adat Kampung Naga ternyata mengetahui mitos Dewi Sri atau yang sering dikenal
dengan Dewi Padi, Dewi pemberi kemakmuran. Dewi Sri atau Dewi Shri (bahasa
Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, Dewi padi dan sawah, serta Dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan
dan pemujaan terhadapnya berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di
pulau Jawa. Hal tersebut tergambar dari proses menanak nasi yang panjang, mulai
dari penumbukan padi hingga proses menanak nasi yang harus dikerjakan secara
benar untuk menghormati keberadaan Dewi Sri. Pada leksikon konsep nasi pun tergambar
jelas bentuk penghormatan masyarakat adat Kampung Naga terhadap Dewi Sri. Pada
proses diakeul, misalnya, yang
bertujuan agar nasi menjadi pulen atau legit ketika dikonsumsi, tercermin
penghormatan masyarakat adat Kampung Naga kepada Dewi Sri yang telah memberikan
hasil panen yang melimpah, khususnya
padi. Di sisi lain, ternyata proses
diakeul tersebut menyiratkan pesan bahwa nasi yang merupakan pemberian
Tuhan haruslah dihidangkan dengan baik karena proses diakel dapat menjadikan nasi terasa lebih pulen dan enak untuk
dikonsumsi.
5. Simpulan
Dalam
kajian ini terungkap bahwa leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga
dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu (1) kegiatan menanak nasi, serta (2) alat dan bahan menanak
nasi. Berdasarkan fungsinya, leksikon konsep nasi masyarakat di Kampung Naga
juga dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi, yakni (1) fungsi individual, (3)
fungsi sosial, dan (2) fungsi pengetahuan. Akhirnya, muara dari kajian ini
dapat mengungkap cerminan kearifan lokal dari penggunaan leksikon konsep nasi oleh
masyarakat adat Kampung Naga. Penggunaan leksikon tersebut memberikan gambaran bahwa
masyarakat adat Kampung Naga memiliki konsep pemanfaatan alam yang baik dan
prinsip interaksi masyarakat yang harmonis.
Daftar
Pustaka
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge:
Cambridge University Press.
Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher
Inc.
Jaenudin, dkk. 2011. “Konsep Padi dalam
Bahasa Sunda (Kajian Antropolinguitik)”. Jurnal Kelas Linguistik, Vol. 2, No.2, pp. 1-17.
Palmer, Gary B. 1999. Towards a Theory of Cultural Linguistics.
Austin: University of Texas Press.
Retno, dkk. 2011. “Leksikon Makanan Tradisional (Kajian Etnolinguistik)”. Jurnal Kelas
Linguistik, Vol.
2, No.2,
pp. 97-115.
Satjadibrata. 2011. Kamus Sunda-Indonesia. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Warnaen, Suwarsih dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti
Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Bagian Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian,
Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.