Pengaruh Variabel Sosial
terhadap Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia
Mahmud Fasya
Euis Nicky Marnianti Suhendar
Universitas Pendidikan Indonesia
mahmud_fasya@upi.edu
1.
Pendahuluan
Pemakai bahasa dituntut untuk menggunakan
bahasa yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapinya. Salah satu situasi
yang dihadapi seseorang adalah situasi yang menjengkelkan atau membuat hati
marah. Dalam situasi tersebut, pemakai bahasa terkadang menggunakan berbagai
ungkapan makian untuk mengekspresikan kemarahan, kekesalan, kekecewaan,
kebencian, atau ketidaksenangan terhadap suatu hal yang menimpanya.
Dalam kehidupan dewasa ini,
penggunaan makian dalam bahasa Indonesia tampaknya semakin mewarnai aktivitas
berbahasa manusia, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Sehubungan dengan
hal itu, Abidin Ass (2009) mengemukakan bahwa pada tahun
2007, Yayasan Pengembangan Media Anak dan 18 perguruan tinggi
di Indonesia melakukan penelitian mengenai sinetron remaja yang ditayangkan
dalam tahun 2006 dan 2007 yang meliputi 92 judul sinetron dengan 362 episode
sepanjang 464 jam. Konsep yang dieksplorasi adalah kekerasan, mistik, seks,
serta moralitas. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sinetron remaja
tidak lepas dari kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikologis, finansial,
seksual, spiritual, dan lain-lain. Namun, kekerasan yang paling dominan adalah
kekerasan bahasa (verbalic-violence)
yang mencapai 56%. Selain itu, berdasarkan beberapa berita di media cetak
maupun media elektronik, aksi demonstrasi yang sering terjadi belakangan ini tidak
jarang diwarnai juga dengan ungkapan makian sebagai simbol unjuk rasa para
demonstran.
Berkaitan dengan makian dalam
bahasa Indonesia, Wijana dan Rohmadi (2006) pernah melakukan penelitian yang berjudul
“Makian dalam Bahasa Indonesia: Studi tentang Bentuk dan Referensinya”. Di
dalam penelitiannya, Wijana dan Rohmadi memaparkan bentuk-bentuk makian dalam
bahasa Indonesia, yaitu terdiri atas kata, frasa, dan klausa. Sementara itu,
referensi makian dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi
bermacam-macam, yakni keadaan, binatang, benda-benda, bagian tubuh,
kekerabatan, makhluk halus, aktivitas, profesi, dan seruan. Data penelitian
tersebut bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (2001)
dan komik-komik silat.
Setelah meninjau penelitian
itu, penelitian makian dalam bahasa Indonesia yang dikaji dari perspektif ilmu
sosiolinguistik dinilai menarik. Selain itu, peneliti juga terilhami oleh
peribahasa, yakni “bahasa menunjukkan bangsa”. Artinya, bahasa pun memiliki
fungsi lainnya, yaitu sebagai alat untuk menunjukkan identitas pemakai bahasa
karena penggunaan suatu bahasa dianggap dapat menggambarkan kondisi sosial
masyarakatnya.
Berdasarkan uraian di atas,
peneliti semakin tertarik untuk melakukan penelitian ini. Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) pengaruh perbedaan kelas sosial
pemakai bahasa terhadap penggunaan makian dalam bahasa Indonesia, (2) pengaruh
perbedaan jenis kelamin pemakai bahasa terhadap penggunaan makian dalam bahasa
Indonesia, dan (3) pengaruh perbedaan usia pemakai bahasa terhadap penggunaan
makian dalam bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap perkembangan ilmu sosiolinguistik di Indonesia tentang
pengaruh perbedaan variabel sosiolinguistik seperti kelas sosial, jenis
kelamin, dan usia pemakai bahasa terhadap penggunaan makian dalam bahasa
Indonesia serta dapat dijadikan referensi oleh para pemakai bahasa agar dapat
menggunakan bahasa Indonesia, khususnya ungkapan makian dalam bahasa Indonesia,
sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat yang sedang dihadapinya.
2.
Bentuk Lingual Makian dalam
Bahasa Indonesia
Menurut Wijana dan Rohmadi (2006: 115), dilihat dari
bentuk lingualnya, makian dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi tiga jenis,
yakni makian bentuk kata, makian bentuk frasa, dan makian bentuk klausa. Makian
yang berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yakni makian bentuk dasar dan
makian bentuk kata jadian. Makian bentuk dasar adalah makian yang berwujud
kata-kata monomorfemik, seperti babi dan
setan. Sementara itu, makian bentuk
jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemik. Makian yang berbentuk
polimorfemik dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni makian berafiks, makian
bentuk ulang, dan makian bentuk majemuk. Makian berafiks misalnya kata sialan. Makian bentuk ulang misalnya kata cecunguk (reduplikasi parsial). Akhirnya,
ada makian yang dibentuk dari proses pemajemukan, misalnya kurang ajar.
Bentuk yang kedua adalah makian bentuk frasa. Ada dua
cara yang dapat digunakan untuk membentuk frasa makian dalam bahasa Indonesia,
yakni dasar plus bentuk makian serta
bentuk makian plus –mu. Contohnya adalah dasar buaya dan kakekmu.
Adapun makian bentuk klausa
dibentuk dengan menambahkan pronomina (pada umumnya) di belakang makian dari
berbagai referensi itu, seperti gila
kamu, setan alas kamu, sundal kamu, dan gila
benar dia. Penempatan pronomina di belakang makian dimaksudkan untuk
memberikan penekanan pada bentuk-bentuk makian itu.
3.
Referensi Makian dalam Bahasa Indonesia
Wijana dan Rohmadi (2006: 119)
menyebutkan bahwa dilihat dari referensinya, sistem makian dalam bahasa
Indonesia dapat digolongkan menjadi bermacam-macam, yakni (1) keadaan, (2)
binatang, (3) benda, (4) bagian tubuh, (5) kekerabatan, (6) makhluk halus, (7)
aktivitas, (8) profesi, dan (9) seruan. Kata-kata yang menunjuk keadaan yang
tidak menyenangkan agaknya merupakan satuan lingual yang paling umum dimanfaatkan
untuk mengungkapkan makian. Secara garis besar ada tiga hal yang dapat atau
mungkin dihubungkan dengan keadaan yang tidak menyenangkan ini, yaitu (1)
keadaan mental, seperti gila, sinting,
bodoh, dan sebagainya, (2) keadaan yang tidak direstui Tuhan atau agama,
seperti keparat, jahanam, terkutuk,
kafir, dan sebagainya, dan (3) keadaan yang berhubungan dengan peristiwa
yang tidak menyenangkan, yang menimpa seseorang, seperti celaka, mati, modar, sialan, dan sebagainya.
4.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Data yang diteliti adalah ungkapan makian dalam bahasa
Indonesia, baik berupa kata, frasa, maupun klausa. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik angket. Adapun angket yang
digunakan di dalam penelitian ini adalah angket kombinasi (terbuka-tertutup),
yaitu angket yang menyediakan alternatif jawaban, tetapi pada pilihan terakhir
dikosongkan untuk memberikan kesempatan kepada responden menjawab pertanyaan
sesuai dengan keadaannya bila tidak ada pilihan jawaban yang dianggap sesuai.
Data tersebut bersumber dari responden yang dipilih sesuai dengan kategori yang
mewakili perbedaan kelas sosial, jenis kelamin, dan usia.
5. Pengaruh Perbedaan Kelas
Sosial Pemakai Bahasa terhadap Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia
5.1
Berdasarkan Indeks Sosial Berupa Tingkat Pendidikan
5.1.1
Penggunaan Bentuk Lingual Makian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Kelas sosial merupakan
kelompok orang yang mempunyai kemiripan pekerjaan dan pendapatan dan sebagai
konsekuensinya mereka mempunyai kemiripan gaya hidup dan keyakinan. Oleh karena
itu, implikasinya adalah bahwa jika dua orang yang berbeda kelas sosialnya, kedua
orang itu akan memiliki perbedaan dalam berperilaku, baik itu perilaku
linguistik maupun nonlinguistik (Milroy dalam Mahsun, 2007: 238).
Dari penggunaan ketiga
bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia yakni berupa kata, frasa, dan
klausa seperti yang telah disebutkan di atas, penggunaan makian berbentuk
klausa dianggap dapat menunjukkan bahwa kemampuan bahasa seseorang akan berbeda
sesuai dengan tingkat pendidikannya masing-masing. Hal tersebut berkaitan
dengan aspek tata bahasa atau gramatika. Dalam kaitan ini, berhubungan dengan
struktur klausa yang memang lebih kompleks atau rumit daripada bentuk kata atau
frasa karena klausa merupakan satuan bahasa atau satuan gramatika yang terdiri
atas kata yang tersusun secara sistematis. Pemakai bahasa yang berpendidikan
rendah lebih sedikit menggunakan makian berbentuk klausa dibandingkan dengan
pemakai bahasa yang berpendidikan tinggi. Data penelitian menunjukkan bahwa
yang berpendidikan rendah berjenis kelamin perempuan hanya 4% menggunakan
makian berupa klausa, sedangkan yang berpendidikan tinggi berjenis kelamin perempuan
menggunakan makian berbentuk klausa sebesar 6%.
Selain itu, perbedaan
penggunaan makian dalam bahasa Indonesia berbentuk klausa pun terlihat dari
kategori pemakai bahasa yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan pendidikan
tinggi dengan masing-masing berjenis kelamin laki-laki. Pada kategori pemakai
bahasa dengan pendidikan rendah berjenis kelamin laki-laki, penggunaan makian
berbentuk klausa sebesar 6% saja, sedangkan pemakai bahasa yang berpendidikan
tinggi berjenis kelamin laki-laki menggunakan makian berbentuk klausa sebesar
8%.
Setelah melihat
beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa makian dalam bahasa Indonesia
yang berbentuk klausa memang lebih banyak dipilih oleh orang yang berpendidikan
tinggi dibandingkan dipilih oleh orang yang berpendidikan rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa orang yang berpendidikan tinggi dinilai memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam merangkai susunan kata yang lebih kompleks dibandingkan
dengan orang yang berpendidikan rendah. Berdasarkan penjelasan di atas,
dikatakan bahwa tingkat pendidikan memang dapat memengaruhi penggunaan bentuk
lingual makian dalam bahasa Indonesia.
5.1.2
Penggunaan Referensi Makian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Selain berpengaruh
pada penggunaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia, fakta membuktikan
bahwa perbedaan tingkat pendidikan si pemakai bahasanya dapat pula memengaruhi
penggunaan referensi makian dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan data yang
diperoleh, diketahui bahwa yang berpendidikan rendah berjenis kelamin perempuan
menggunakan makian dengan referensi binatang sebesar 7 %, sedangkan yang
berpendidikan tinggi berjenis kelamin perempuan hanya sebesar 2 %. Sementara
itu, responden yang berpendidikan rendah berjenis kelamin laki-laki memilih
makian dengan referensi binatang sebesar 39 % sedangkan yang berpendidikan
tinggi berjenis kelamin laki-laki hanya sebesar 7 %. Dengan demikian, jelas
bahwa yang berpendidikan rendah lebih sering menggunakan makian dengan
referensi binatang daripada yang berpendidikan tinggi, baik laki-laki maupun
perempuan.
Berdasarkan fakta
itulah, dapat dikatakan bahwa orang yang berpendidikan rendah saat situasi
sedang marah di dalam rumah lebih mengedepankan emosi perasaan marahnya
daripada orang yang dihadapinya. Sementara itu, orang yang berpendidikan tinggi
lebih melihat orang yang dihadapinya, dalam hal ini seorang anak kecil yang
dinilai masih wajar bila sikapnya membuat orang lain kesal. Oleh karena itulah,
orang yang berpendidikan tinggi lebih menunjukkan sikapnya yang bisa menahan
emosinya dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah, yakni dengan
cukup melontarkan ungkapan makian ampun untuk
menunjukkan kekesalannya itu.
5.2
Berdasarkan Indeks Sosial Berupa Jenis Pekerjaan
5.2.1
Penggunaan Bentuk Lingual Makian Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Selain tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan pun menjadi salah satu indeks sosial yang
memengaruhi penggunaan makian dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan persentase
penggunaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa
orang yang bekerja sebagai PNS ada kecenderungan lebih banyak menggunakan
makian bentuk frasa dibandingkan dengan orang yang bekerja sebagai non-PNS.
Sehubungan dengan
fakta yang dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa setidaknya terdapat
perbedaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh
orang yang bekerja sebagai PNS dan yang bekerja sebagai non-PNS. Responden yang
bekerja sebagai PNS, yaitu sebagai pegawai kantor lebih memilih menggunakan
makian bentuk frasa. Hal itu dapat dilatarbelakangi oleh kemampuan berbahasanya
yang lebih bisa menguasai bahasa selain bentuk kata dibandingkan dengan
responden non-PNS, misalnya seorang pegawai pabrik atau pedagang. Tingkat
pendidikan pun dinilai memengaruhi terhadap bahasa, yakni makian dalam bahasa
Indonesia yang dipilih oleh seseorang yang PNS dan seseorang yang non-PNS.
5.2.2
Penggunaan Referensi Makian Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Setelah dianalisis
lebih mendalam, ternyata perbedaan jenis pekerjaan pun dapat memengaruhi
penggunaan referensi makian dalam bahasa Indonesia. Data penelitian menunjukkan
bahwa kategori responden non-PNS – laki-laki – usia muda menggunakan makian
dengan referensi binatang sebesar 24%. Sementara itu, yang non-PNS- perempuan –
usia muda menggunakan makian dengan referensi binatang hanya sebesar 2%;
non-PNS- perempuan – usia tua sebesar 4%; non-PNS- laki-laki – usia tua sebesar
18%; PNS- perempuan – usia muda sebesar 9%; PNS- perempuan – usia tua sebesar
4%; PNS- laki-laki – usia muda sebesar 9%; PNS- laki-laki – usia tua sebesar
4%. Dengan demikian, terlihat perbedaan yang sangat signifikan dalam penggunaan
referensi makian antara yang non-PNS dengan yang PNS. Fakta di atas menunjukkan
bahwa jenis pekerjaan para pemakai bahasa memang berpengaruh pada penggunaan
referensi makian dalam bahasa Indonesia.
6. Pengaruh Perbedaan Jenis
Kelamin Pemakai Bahasa terhadap Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia
6.1 Penggunaan
Bentuk Lingual Makian Berdasarkan Jenis Kelamin
Berkaitan dengan pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap penggunaan bahasa, Chaer dan Agustina (2004:
65) memberikan penjelasan bahwa berdasarkan seks (jenis kelamin) penutur dapat
pula disaksikan adanya dua jenis variasi bahasa. Misalnya, percakapan antara
sekelompok mahasiswi atau ibu-ibu akan berbeda dengan percakapan yang dilakukan
oleh sekelompok mahasiswa atau bapak-bapak. Sehubungan dengan pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa perbedaan jenis
kelamin memberikan pengaruh juga terhadap penggunaan bahasa di masyarakat,
termasuk penggunaan makian dalam bahasa Indonesia.
Melihat hasil penelitian, diketahui bahwa yang berjenis kelamin perempuan
lebih sering menggunakan makian bentuk klausa daripada yang berjenis kelamin
laki-laki. Kategori perempuan muda yang berpendidikan rendah yang menggunakan
makian bentuk klausa sebesar 5%, sedangkan laki-laki muda yang berpendidikan
rendah sebesar 4% saja. Selain itu, kategori perempuan muda yang berpendidikan
tinggi pun menunjukkan persentase yang lebih besar, yakni sebesar 9% sedangkan
kategori laki-laki muda yang berpendidikan tinggi menggunakan makian bentuk
klausa hanya sebesar 7%. Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat perbedaan
pada penggunaan bentuk lingual makian dalam bahasa Indonesia di antara pemakai
bahasa yang berbeda jenis kelaminnya.
6.2
Penggunaan Referensi Makian Berdasarkan
Jenis Kelamin
Setelah dianalisis
lebih lanjut, ternyata fakta di dalam penelitian ini pun menunjukkan bahwa
perbedaan jenis kelamin memengaruhi penggunaan makian dalam bahasa Indonesia,
khususnya dalam hal referensi makiannya. Berdasarkan data penelitian, diketahui
bahwa lima dari delapan kategori responden berdasarkan jenis kelamin tersebut
pada umumnya lebih banyak menggunakan makian dalam bahasa Indonesia dengan
referensi makian keadaan dan seruan. Kelima kategori tersebut, yakni (1)
perempuan usia muda berpendidikan tinggi, (2) perempuan usia tua berpendidikan
rendah, (3) perempuan usia tua berpendidikan tinggi, (4) laki-laki usia muda
berpendidikan tinggi, dan (5) laki-laki usia tua berpendidikan tinggi.
Sementara itu, responden kategori perempuan usia muda berpendidikan rendah dan
laki-laki usia muda berpendidikan rendah lebih dominan menggunakan makian dalam
bahasa Indonesia yang mengandung referensi binatang dan keadaan. Sedikit
berbeda, responden kategori laki-laki usia tua berpendidikan rendah dominan
menggunakan makian dengan referensi keadaan dan kecenderungan kedua lebih
menggunakan makian dengan referensi binatang. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa kecuali yang memiliki pendidikan tinggi, pada umumnya laki-laki lebih
sering menggunakan makian dengan referensi binatang dibandingkan dengan
perempuan.
Kategori laki-laki
usia muda berpendidikan rendah menggunakan makian dengan referensi binatang
sebesar 37% dan laki-laki usia tua berpendidikan rendah sebesar 26%.
Persentase-persentase pada kategori-kategori tersebut tentu dinilai sangat
besar dibandingkan dengan persentase pada kategori lainnya yang tidak melebihi
13% untuk makian dengan referensi binatang. Dengan demikian, jelaslah
bahwa perbedaan jenis kelamin sangat memengaruhi penggunaan referensi makian
dalam bahasa Indonesia.
7. Pengaruh Perbedaan Usia
Pemakai Bahasa terhadap Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia
7.1 Penggunaan
Bentuk Lingual Makian Berdasarkan Usia
Dalam hal penggunaan makian
dalam bahasa Indonesia, setiap kategori pemakai bahasa menurut perbedaan usia
tentu memilih bentuk lingual dan referensi makian yang berbeda pula. Berdasarkan pada penggolongan usia menurut Hurlock, seorang ahli psikologi,
penelitian ini pun hanya memfokuskan kategori responden berdasarkan dimensi
usianya, yaitu usia muda (kurang dari 40
tahun) dan usia tua (lebih dari 40 tahun). Adapun hasil penelitian menunjukkan
bahwa dilihat dari perbedaan usia, semua kategorinya cenderung menggunakan
makian yang bentuk kata.
Setelah diteliti lebih
dalam, ternyata ditemukan juga fakta yang menarik mengenai bentuk makian yang
digunakan kalangan muda. Fakta tersebut adalah berupa ungkapan makian dalam
bahasa Indonesia yang diimplisitkan dalam bentuk akronim (kependekan kata yang
berupa gabungan suku kata), yaitu “Dasar
*nabitu (*napsu birahi tua-tua keladi)” dan “Dasar *nabijing (*napsu birahi anjing)”. Fakta tersebut dapat
mengindikasikan tentang pribadi si pemakai bahasanya yang berusia muda tersebut
termasuk pribadi yang lebih kreatif daripada kalangan tua karena tidak ada
kalangan tua yang menggunakan makian dengan bentuk seperti itu.
7.2 Penggunaan
Referensi Makian Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil
penelitian, ditemukan fakta yang memunculkan perhatian khusus, yakni penggunaan
makian dengan referensi binatang yang begitu dominan dipakai oleh kategori usia
muda laki-laki. Persentase penggunaannya mencapai 41%. Fakta tersebut tentu
menjadi fokus perhatian karena bila dibandingkan dengan penggunaannya oleh
kategori lainnya, maka akan terlihat perbedaan persentase yang sangat jauh
berbeda. Yang usia muda perempuan menggunakan makian dengan referensi binatang
sebesar 8%; yang usia tua perempuan menggunakan makian dengan referensi binatang
hanya sebesar 2%; yang usia tua laki-laki menggunakan makian dengan referensi
binatang sebesar 4% saja. Sesuai dengan data tersebut, diketahui bahwa
perbedaan usia pemakai bahasa memang sangat memengaruhi penggunaan makian dalam
bahasa Indonesia, khususnya dalam hal referensi makiannya.
8. Simpulan
Pada akhir tulisan ini
disampaikan simpulan bahwa perbedaan kelas sosial yang ditandai tingkat
pendidikan dan jenis pekerjaan, jenis kelamin, serta usia pemakai bahasa sangat
memengaruhi penggunaan makian dalam bahasa Indonesia, terutama dalam hal
pemilihan referensi makiannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan
menggunakan makian dengan referensi binatang lebih ditunjukkan oleh yang
berpendidikan rendah daripada yang berpendidikan tinggi. Selain itu, jenis pekerjaan pun cenderung membedakan referensi makian yang
diungkapkan pemakai bahasa. Fakta membuktikan bahwa pada umumnya, yang non-PNS
memiliki kecenderungan lebih besar menggunakan makian dengan referensi binatang
daripada yang PNS.
Pengaruh jenis kelamin
terhadap penggunaan makian dalam bahasa Indonesia tampak jelas pada fakta yang
memperlihatkan bahwa laki-laki lebih dominan menggunakan makian dengan
referensi binatang dibandingkan perempuan. Fakta ini dilatarbelakangi oleh
pandangan masyarakat yang mengganggap bahwa perempuan harus bertutur kata yang
halus dan sopan karena perempuan kelak akan menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Sementara itu, laki-laki
dikonotasikan sebagai figur yang cenderung kasar daripada perempuan sehingga
lebih sering memaki dengan kata-kata kasar daripada perempuan.
Usia pemakai bahasa pun ternyata memengaruhi penggunaan
makian dalam bahasa Indonesian. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa kalangan
usia muda dominan memaki dengan referensi binatang daripada kalangan tua yang
ternyata cenderung memilih makian dengan referensi seruan. Adanya kecenderungan kalangan muda untuk memaki dengan referensi binatang pada
dasarnya dilatarbelakangi oleh faktor kematangan emosionalnya yang masih labil.
Sementara itu, kalangan tua dipandang lebih bisa mengontrol emosinya dalam
keadaan marah atau kesal.
Pustaka Rujukan
Abidin Ass, Djamalul. 2009. “Daya Rusak Terhadap
Perkembangan Bahasa Indonesia”. [Online]. Tersedia: http://bangkitgila.wordpress.com/page/11/.
[8 April 2010].
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics (Second Edition). London:
Longman.
Hurlock, Elizabeth B. (diterjemahkan oleh
Istiwidayanti dan Soedjarwo). 1991. Psikologi
Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima).
Jakarta: Erlangga.
Mahsun. 2007. Metode
Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar