Jumat, 27 Juli 2012


KONSEP NASI DALAM BAHASA SUNDA:
STUDI ANTROPOLINGUISTIK DI KAMPUNG NAGA,
 KECAMATAN SALAWU, KABUPATEN TASIKMALAYA

Rizki Hidayatullah & Mahmud Fasya
Universitas Pendidikan Indonesia
rizkihidayatullah73@yahoo.co.id


1.      Pengantar
Sejumlah kelompok etnik di Indonesia memiliki cara yang khas untuk mengungkapkan konsep nasi dalam bahasanya. Keunikan cara pengungkapan tersebut mencerminkan keragaman realitas dan budaya yang melatarbelakanginya. Salah satu kelompok etnik yang memiliki konsep unik tentang nasi adalah masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka mengenal berbagai leksikon yang berkaitan dengan nasi, seperti ditutu [ditutu] ‘ditumbuk’, ditapian [ditapi?an] ‘diayak’, diisikan [di?isikan] ‘dicuci’, dikarihan [dikarihan] ‘dimasak setengah matang’, diseupan [disəpan] ‘ditanak’, dan diakeul [di?akeəl] ‘diaduk perlahan setelah matang’. Leksikon-leksikon tersebut memiliki makna yang khas bagi masyarakat adat Kampung Naga yang masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokalnya.
Kajian mengenai konsep nasi ini penting dilakukan karena dapat mengungkap keunikan masyarakat adat Kampung Naga khususnya dan masyarakat Sunda umumnya dalam memandang nasi sebagai suatu hal yang penting dalam kehidupan mereka. Kajian ini setidaknya melibatkan dua disiplin ilmu, yaitu linguistik antropologis (anthropological linguistics) dan antropologi linguistik (linguistic anthropology). Artinya, kajian tentang konsep nasi dalam suatu bahasa tidak hanya dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu menjangkau fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan (Foley, 2001). Topik ini masih belum ada yang mengeksplorasinya secara khusus dan mendalam. Adapun penelitian Jaenudin, dkk. (2011) hanya mengkaji konsep padi di Kampung Naga. Selain itu, Retno, dkk. (2011) hanya mengkaji ragam jenis makanan tradisional di Kampung Naga. Keduanya tidak menyinggung konsep nasi, khususnya dari sisi bahasa dan kebudayaan.
Ada tiga rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini: (1) bagaimana klasifikasi dan deskripsi leksikon konsep nasi di Kampung Naga berdasarkan satuan lingual; (2) bagaimana fungsi leksikon konsep nasi bagi masyarakat adat Kampung Naga; (3) bagaimana cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan leksikon konsep nasi yang digunakan oleh masyarakat adat Kampung Naga. Untuk menjawab masalah tersebut, tahap pengumpulan data dimulai dengan mencatat leksikon konsep nasi yang digunakan masyarakat di Kampung Naga. Data-data tersebut juga dilengkapi dengan meminta bantuan beberapa informan yang merupakan warga asli Kampung Naga, yakni para ibu rumah tangga di Kampung Naga. Informan tidak hanya membantu memberi informasi tentang leksikon konsep nasi, tetapi sekaligus memberikan contoh konteks pemakaiannya. Setelah dikumpulkan dan dicatat bersama konteksnya, data-data diklasifikasikan berdasarkan bentuk lingual dan fungsinya, lalu diungkap cerminan gejala kebudayaannya.

2.      Klasifikasi dan Deskripsi Leksikon Konsep Nasi dalam Bahasa Sunda
Dari hasil penelitian diperoleh leksikon yang menyatakan konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga. Leksikon tersebut dianalisis sesuai dengan klasifikasi dan deskripsi satuan lingualnya, ditafsirkan fungsi budayanya, dan pada akhirnya dikuak cerminan kearifan lokal di balik penggunaan leksikon tersebut. Berikut ini merupakan leksikon-leksikon konsep nasi yang digunakan masyarakat adat Kampung Naga: ditutu ‘ditumbuk, ditapian ‘diayak menggunakan pengayak beras’, diisikan dicuci hingga bersih’, dikarihan ‘dimasak setengah matang’, diseupan ditanak’, diakeul ‘diaduk perlahan’, halu ‘kayu penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk menumbuk padi berbentuk persegi panjang’, tampir ‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru ‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’, jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah yang masih menempel pada beras’, hihid ‘kipas’, langseng ‘alat untuk menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh ‘kayu bakar’, hawu ‘perapian’, dulang ‘alat untuk meyimpan nasi setengah matang’, galo ‘alat pengaduk nasi setengah matang’, aseupan ‘kukusan beras’, cukil ‘alat pengaduk nasi’, cai ‘air’, beas ‘beras’, songsong ‘peniup perapian’, dan sangu ‘nasi’. Adapun pengelompokannya dapat dilihat pada tebel berikut:
Leksikon Konsep Nasi Masyarakat Adat Kampung Naga
No.
Leksikon Kegiatan
Leksikon Peralatan dan Bahan yang Digunakan
Makna Leksikal
1.
ditutu
halu, lisung, jubleg, tampir, gabah
Proses menumbuk gabah menjadi beras
2.
ditapian
nyiru, beas
Proses memisahkan gabah yang masih menempel pada beras setelah dilakukan penumbukan
3.
diisikan
boboko, cai, beas
Proses membersihkan beras dengan air menggunakan bakul
4.
dikarihan
dulang, galo, beas, cai
Proses memasak nasi hingga setengah matang
5.
diseupan
songsong, langseng, hawu, aseupan, suluh, cai, beas
Proses mengukus beras yang sebelumnya sudah dimasak setengah matang
6.
diakeul
boboko, cukil, hihid, sangu
Proses mengaduk sambil menghilangkan uap panas dengan kipas sehingga nasi menjadi pulen
Boas (1966: 59) dalam Palmer (1999: 11) mengatakan bahwa bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya. Lebih lanjut, hasil observasi Boas menunjukkan bahwa bahasa mendasari pengklasifikasian pengalaman sehingga berbagai bahasa mengklasifikasikan pengalaman secara berbeda dan pengklasifikasian semacam itu tidak selalu disadari oleh penuturnya. Adapun leksikon konsep nasi dalam bahasa Sunda dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: (1) kegiatan, serta (2) alat dan bahan. Sebelumnya, leksikon tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan bentuk lingualnya agar dapat diketahui keidentikan satuan lingual tersebut dengan kekayaan proses budaya dan produk budaya tentang konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga.
Leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga merujuk pada satuan-satuan lingual tertentu, seperti leksikon yang termasuk ke dalam bentuk kata berimbuhan atau pun bentuk dasar; begitu pun dari sisi kelas katanya. Berdasarkan pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa satuan lingual leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga seluruhnya berbentuk kata. Beberapa di antaranya merupakan kata berafiks: (1) kata berprefiks dan (2) kata berkonfiks.
Dari tabel di atas terdapat beberapa leksikon yang menggunakan prefiks, seperti ditutu ‘ditumbuk’, diseupan ‘ditanak’, dan diakeul ‘diaduk perlahan’:
(1)   di- + tutu ‘tumbuk’ à ditutu ‘ditumbuk agar beras terpisah dari gabah’
(2)   di- + seupan tanak à diseupan ‘ditanak
(3)   di- + akeul ‘aduk perlahan’ à diakeul ‘diaduk perlahan’
Dari tabel di atas terdapat beberapa leksikon yang menggunakan konfiks, seperti diisikan ‘dicuci hingga bersih’, dikarihan ‘dimasak setengah matang’, dan ditapian ‘diayak menggunakan pengayak beras’:
(1)   di-an + isik ‘cuci’ à diisikan ‘dicuci hingga bersih’
(2)   di-an + karih ‘masak setengah matang’ à dikarihan ‘dimasak setengah matang’
(3)   di-an + tapi ‘ayak’ à ditapihan ‘diayak menggunakan pengayak beras’
Leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga juga diklasifikasikan berdasarkan kelas katanya. Leksikon-leksikon tersebut cenderung termasuk ke dalam kelas kata nomina, seperti halu ‘kayu penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk menumbuk padi berbentuk persegi panjang’, tampir ‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru ‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’, jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah yang masih menempel pada beras’, hihid ‘kipas’, langseng ‘alat untuk menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh ‘kayu bakar’, hawu ‘perapian’, dulang ‘alat untuk meyimpan nasi setengah matang’, galo ‘alat pengaduk beras setengah matang’, aseupan ‘kukusan beras’, cukil ‘alat pengaduk nasi’, cai ‘air’, beas ‘beras’, songsong ‘peniup perapian’, dan sangu ‘nasi’. Semua nomina tersebut memotret kekayaan produk budaya tentang nasi di Kampung Naga. Ada juga kelas kata verba yang menggambarkan kekayaan proses budaya tentang nasi di Kampung Naga, seperti ditutu, ditapi, diisikan, dikarihan, diseupan, dan diakeul yang berkaitan dengan aktivitas atau proses menanak nasi di Kampung Naga.
Selanjutnya, leksikon konsep nasi ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok: (1) kegiatan, serta (2) alat dan bahan. Pertama, leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga dikelompokkan berdasarkan bentuk kegiatan atau aktivitas menanak nasi. Leksikon dalam kelompok ini dibagi menjadi tiga: (1) leksikon pada tahap pramenanak, (2) leksikon pada tahap menanak, dan (3) leksikon pada tahap pascamenanak. Dalam tahap pramenanak, masyarakat adat Kampung Naga melakukan proses ditutu, ditapihan, dan diisikan. Ditutu merupakan proses menumbuk padi yang sudah kering (gabah) di dalam kuali besar yang terbuat dari kayu dengan menggunakan halu hingga kulit gabah terlepas dan menjadi beras. Setelah kulit gabah terlepas dan menjadi beras, proses selanjutnya adalah ditapi. Ditapi merupakan proses membersihkan gabah yang masih menempel pada beras dengan cara diayak menggunakan nyiru hingga beras benar-benar bersih dari gabah. Setelah benar-benar bersih, beras tersebut diisikan. Diisikan merupakan proses mencuci beras dengan air bersih. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada beras.
Setelah pramenanak, tahap selanjutnya adalah menanak nasi. Tahap menanak meliputi dua proses, yaitu ngarihan dan nyeupan. Leksikon ngarihan atau dikarihan adalah leksikon yang berkaitan dengan kegiatan pertama dalam proses menanak. Ngarihan adalah proses memasak atau menyiram beras dengan air panas hingga nasi menjadi setengah matang. Setelah itu, proses selanjutnya ialah diseupan.  Diseupan adalah proses mengukus beras yang sudah setengah matang hingga menjadi nasi yang benar-benar matang. Nasi yang matang inilah yang disebut sangu. Dalam proses ini dibutuhkan waktu yang cukup lama tergantung dari banyaknya beras yang dimasak dan juga kestabilan dari perapian yang digunakan. Setelah melalui proses pramenanak dan menanak, tahap selanjutnya adalah pascamenanak. Pada tahap ini hanya dilakukan satu kali proses, yaitu diakeul. Diakeul adalah leksikon yang merujuk pada kegiatan mengaduk secara perlahan nasi yang sudah matang dengan menggunakan cukil ‘alat pengaduk nasi’. Selain itu, juga dilakukan pengipasan dengan menggunakan hihid ‘kipas’ untuk mengurangi suhu panas pada nasi yang baru matang. Proses ini dilakukan untuk menghilangkan uap air dari nasi yang masih panas sekaligus membuat nasi menjadi lebih pulen. Setelah beberapa proses tersebut dilakukan, nasi pun siap untuk dikonsumsi.
Kedua, dalam menanak nasi masyarakat adat Kampung Naga juga menggunakan berbagai peralatan dan bahan yang khas. Peralatan tersebut diklasifikasikan berdasarkan waktu penggunaannya yaitu pramenanak, saat menanak, dan pascamenanak. Peralatan dan bahan yang digunakan pada tahap pramenanak adalah  halu ‘kayu penumbuk padi’, lisung ‘wadah untuk menumbuk padi berbentuk persegi panjang’, tampir ‘alat untuk menjemur gabah’, nyiru ‘alat untuk mengayak beras’, boboko ‘bakul’, jubleg ‘wadah untuk memisahkan gabah yang masih menempel pada beras’, beas ‘beras’, cai ‘air’. Selanjutnya, peralatan yang digunakan pada tahap menanak nasi adalah langseng ‘alat untuk menyimpan air ketika menanak nasi’, suluh ‘kayu bakar’, songsong ‘peniup perapian’, hawu ‘perapian’, dulang ‘alat untuk meyimpan nasi setengah matang’, galo ‘alat pengaduk beras setengah matang’, dan aseupan ‘kukusan’. Kemudian, peralatan yang termasuk dalam tahap pascamenanak adalah boboko ‘bakul’, hihid ‘kipas’, dan cukil ‘alat pengaduk nasi’. Selain digunakan pada tahap pramenanak sebagai tempat untuk mencuci beasberas’, boboko ‘bakul’ juga digunakan pada tahap pascamenanak sebagai wadah untuk menyimpan nasi yang telah matang.

3.      Fungsi Leksikon Konsep Nasi bagi Masyarakat Adat Kampung Naga
Ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan suatu masyarakat dan leksikon bahasanya (Wierzbicka, 1997: 1). Artinya, fungsi leksikon konsep nasi di Kampung Naga juga sangat berkaitan dengan aktivitas hidup masyarakat adat Kampung Naga yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa kesehariannya. Fungsi leksikon konsep nasi dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi: (1) fungsi individual, (2) fungsi sosial, dan (3) fungsi pengetahuan.
Pertama, leksikon konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi individual karena sejumlah leksikon tersebut berkaitan dengan kegiatan pemenuhan kebutuhan dan kepuasaan individual. Konsep menanak nasi dari mulai proses awal ditutu ‘ditumbuk’ sampai pada proses akhir diakeul ‘diaduk dan dikipas secara perlahan’ sebenarnya merupakan jenis leksikon yang berkaitan dengan fungsi pemenuhan kebutuhan dan kepuasaan individual karena pada akhirnya proses menanak nasi menjadi proses yang dilakukan oleh individu untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut dalam hal kebutuhan lahiriah.
Kedua, leksikon konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi sosial karena ada beberapa leksikon yang berhubungan dengan aktivitas sosial masyarakat Kampung Naga yang menggambarkan interaksi sosial yang terjalin antarmasyarakat di Kampung Naga. Sebagai contoh, leksikon ditutu ‘ditumbuk’ menunjukkan kegiatan menumbuk padi yang ternyata biasa dilakukan secara bersamaan oleh masyarakat adat Kampung Naga. Hal tersebut memang sudah menjadi tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Naga dalam proses pramenanak nasi. Selain itu, terdapat leksikon ditapian ‘diayak’ yang menunjukkan kegiatan mengayak beras atau memisahkan beras agar tidak tercampur dengan gabah yang masih menempel. Kegiatan ini pun ternyata dilakukan secara bersama oleh masyarakat adat Kampung Naga ketika beras sudah selesai ditutu ‘ditumbuk’.
Ketiga, leksikon konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga memiliki fungsi pengetahuan karena banyak leksikon konsep nasi yang dapat memberi pengetahuan tentang suatu hal. Contohnya, leksikon dikarihan atau ngarihan ‘membauat nasi menjadi setengah matang’ merupakan  salah satu cara masyarakat adat Kampung Naga untuk menjadikan nasi menjadi mudah matang. Kemudian, leksikon diakeul menunjukkan kegiatan mengaduk dan mengipas nasi yang telah matang agar nasi menjadi lebih pulen dan nikmat untuk dikonsumsi. Selain untuk membuat nasi menjadi pulen, proses diakeul juga menyiratkan pengetahuan masyarakat adat Kampung Naga terhadap mitos-mitos yang ada, seperti mitos Dewi Sri (Dewi Padi) yang diyakini sebagai utusan Tuhan yang bertugas memberikan limpahan hasil pangan. Selain itu, banyaknya leksikon yang menunjukkan peralatan yang digunakan dalam menanak nasi, seperti boboko, halu, hihid, suluh, songsong, hawu, galo, cubleg, dan lisung, yang umumnya dibuat langsung oleh masyarakat adat Kampung Naga, secara tidak langsung memperlihatkan betapa masyarakat adat Kampung Naga memiliki pengetahuan yang luas dalam membuat kerajinan dari bahan-bahan yang disediakan oleh alam, khususnya dalam membuat peralatan rumah tangga.

4.      Cerminan Gejala Kebudayaan Berdasarkan Leksikon Konsep Nasi Masyarakat Adat Kampung Naga
Wierzbicka (1997: 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan menceritakan karakteristik cara hidup dan cara berpikir penuturnya, serta dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya penuturnya. Begitu pun halnya dengan leksikon konsep nasi masyarakat di Kampung Naga, leksikon tersebut dapat memberikan gambaran tentang pandangan kolektif masyarakat adat Kampung Naga terhadap dunianya. Lahan yang luas dengan berbagai jenis tanaman yang tumbuh subur membuat warga Kampung Naga dapat memanfaatkan kekayaan alam yang mereka miliki sebagai sumber daya yang sangat menguntungkan bagi mereka. Penggunaan peralatan, khususnya peralatan dapur yang cenderung terbuat dari bahan yang tersedia di alam seperti kayu dan bambu, mencerminkan betapa warga Kampung Naga benar-benar memanfaatkan kondisi alam di sekitar mereka sebagai sumber daya yang bermanfaat bagi mereka. Hal tersebut tercermin dari leksikon yang digunakan untuk menyatakan konsep nasi di masyarakat adat Kampung Naga. Masyarakat adat Kampung Naga cenderung menggunakan peralatan yang langsung didapat dari alam sekitar mereka, seperti tampir, halu, lisung, hihid, cubleg, hawu, suluh, songsong, boboko, dan nyiru. Leksikon-leksikon tersebut tidak terlepas dari budaya sekitar atau kearifan lokal yang berlaku di Kampung Naga. Pengetahuan praktis masyarakat Kampung Naga tentang ekosistem lokal, sumber daya alam, dan bagaimana mereka saling berinteraksi tercermin di dalam aktivitas keseharian yang mencakup keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam.
Selain pengetahuan masyarakat adat Kampung Naga dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya, ternyata masyarakat adat Kampung Naga juga mengenal atau mengetahui adanya mitos-mitos tertentu yang masih dipegang teguh hingga saat ini. Contohnya, masyarakat adat Kampung Naga ternyata mengetahui mitos Dewi Sri atau yang sering dikenal dengan Dewi Padi, Dewi pemberi kemakmuran. Dewi Sri atau Dewi Shri (bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, Dewi padi dan sawah, serta Dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di pulau Jawa. Hal tersebut tergambar dari proses menanak nasi yang panjang, mulai dari penumbukan padi hingga proses menanak nasi yang harus dikerjakan secara benar untuk menghormati keberadaan Dewi Sri. Pada leksikon konsep nasi pun tergambar jelas bentuk penghormatan masyarakat adat Kampung Naga terhadap Dewi Sri. Pada proses diakeul, misalnya, yang bertujuan agar nasi menjadi pulen atau legit ketika dikonsumsi, tercermin penghormatan masyarakat adat Kampung Naga kepada Dewi Sri yang telah memberikan hasil panen yang melimpah, khususnya padi. Di sisi lain, ternyata proses diakeul tersebut menyiratkan pesan bahwa nasi yang merupakan pemberian Tuhan haruslah dihidangkan dengan baik karena proses diakel dapat menjadikan nasi terasa lebih pulen dan enak untuk dikonsumsi.

5.      Simpulan
Dalam kajian ini terungkap bahwa leksikon konsep nasi masyarakat adat Kampung Naga dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu (1) kegiatan menanak nasi, serta (2) alat dan bahan menanak nasi. Berdasarkan fungsinya, leksikon konsep nasi masyarakat di Kampung Naga juga dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi, yakni (1) fungsi individual, (3) fungsi sosial, dan (2) fungsi pengetahuan. Akhirnya, muara dari kajian ini dapat mengungkap cerminan kearifan lokal dari penggunaan leksikon konsep nasi oleh masyarakat adat Kampung Naga. Penggunaan leksikon tersebut memberikan gambaran bahwa masyarakat adat Kampung Naga memiliki konsep pemanfaatan alam yang baik dan prinsip interaksi masyarakat yang harmonis.


Daftar Pustaka

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.
Jaenudin, dkk. 2011. “Konsep Padi dalam Bahasa Sunda (Kajian Antropolinguitik)”. Jurnal Kelas Linguistik, Vol. 2, No.2, pp. 1-17.
Palmer, Gary B. 1999. Towards a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press.
Retno, dkk. 2011. Leksikon Makanan Tradisional (Kajian Etnolinguistik). Jurnal Kelas Linguistik, Vol. 2, No.2, pp. 97-115.
Satjadibrata. 2011. Kamus Sunda-Indonesia. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Warnaen, Suwarsih dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.

*Tulisan ini dimuat dalam Nasanius & Yanti (ed.). 2012. KOLITA 10: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya: Kesepuluh Tingkat Internasional. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa & Budaya Unika Atma Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar