Jumat, 27 Juli 2012

LEKSIKON WAKTU HARIAN DALAM BAHASA SUNDA: KAJIAN LINGUISTIK ANTROPOLOGIS


Mahmud Fasya


Universitas Pendidikan Indonesia
mahmud_fasya@upi.edu


1. Pengantar


Rekaman sejarah menunjukkan bahwa manusia telah mengenal waktu sejak zaman dahulu. Pengenalan itu bermula dari kebiasaan manusia yang selalu telaten mengamati segala peristiwa yang terjadi secara teratur di lingkungan sekitarnya. Berbagai peristiwa itu di antaranya adalah pergantian hari, fase bulan, dan perubahan musim.

Pengenalan terhadap waktu memang berlaku secara universal. Namun, penutur masing-masing bahasa merealisasikan konsep waktu tersebut secara unik dalam bahasa yang digunakannya. Realisasi tersebut diwujudkan melalui seperangkat leksikon waktu. Berbagai leksikon waktu tersebut ada yang bermakna kuantitatif, ada pula yang bermakna kualitatif. Yang bermakna kuantitatif merujuk pada bilangan, sedangkan yang kualitatif merujuk pada ciri atau keadaan.

Dalam bahasa Sunda juga terdapat leksikon waktu harian yang khas sebagaimana tampak dalam kalimat berikut:
(1) Wanci haneut moyan kuring miang ti padumukan.
      Saat hangat berjemur saya berangkat dari kediaman.
      'Saat yang hangat untuk berjemur (kira-kira pukul 08.00) saya berangkat dari rumah'
(2) Manéhna datang sareupna.
     Dia datang mulai gelap.
     'Dia datang saat mulai gelap karena matahari terbenam (kira-kira pukul 18.15)' 

Leksikon haneut moyan 'saat yang hangat untuk berjemur' dalam kalimat (1) dan leksikon sareupna 'saat mulai gelap karena matahari terbenam' dalam kalimat (2) bermakna kualitatif karena merujuk pada ciri atau keadaan alam yang sedang berlangsung saat tuturan tersebut diucapkan. Kedua leksikon tersebut menyiratkan keunikan orang Sunda dalam menyatakan waktu karena berkaitan dengan cara pandang orang Sunda terhadap lingkungannya. Artinya, orang Sunda tidak mungkin menggunakan kedua leksikon tersebut kalau mereka tidak pernah secara telaten mengamati pergerakan matahari di lingkungan sekitarnya. 

Walaupun orang Sunda kekinian makin terbiasa dengan konsep waktu yang dinyatakan secara kuantitatif melalui leksikon yang merujuk pada bilangan, kajian tentang leksikon waktu yang bersifat kualitatif ini juga tetap penting untuk dilakukan. Kajian ini penting karena dapat mengungkap keunikan orang Sunda dalam memandang waktu. Kajian seperti ini setidaknya melibatkan dua payung ilmu, yaitu linguistik antropologis (anthropological linguistics) dan antropologi linguistik (linguistic anthropology). Artinya, kajian tentang leksikon waktu dalam suatu bahasa tidak hanya dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu menjangkau fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan (Foley, 2001).

Topik ini masih belum ada yang mengeksplorasinya secara khusus dan mendalam. Adapun tulisan Hidayat, dkk. (2005) hanya mencoba memilah seberapa banyak peribahasa yang basisnya (hasil pemikiran dan pengalaman) berdasarkan waktu. Sementara itu, kajian Sasmita (2007) terbatas pada persepsi masyarakat Sunda terhadap waktu yang terekam dalam khazanah peribahasa.

Ada tiga rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini: (1) bagaimana klasifikasi dan deskripsi leksikon waktu harian dalam bahasa Sunda; (2) bagaimana fungsi leksikon waktu harian bagi masyarakat penuturnya; (3) bagaimana cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan leksikon waktu harian yang digunakan. Untuk menjawab masalah tersebut, tahap pengumpulan data dimulai dengan mencatat leksikon waktu harian yang digunakan oleh orang Sunda untuk mengungkapkan konsep waktu. Data-data tersebut juga dilengkapi dengan meminta bantuan beberapa informan yang merupakan penutur asli bahasa Sunda, yakni rekan-rekan penulis di UPI. Informan tidak hanya membantu memberi informasi tentang leksikon waktu harian bahasa Sunda, tetapi juga sekaligus memberikan contoh konteks pemakaiannya. Setelah dikumpulkan dan dicatat bersama konteksnya, data-data diklasifikasikan berdasarkan golongan dan fungsinya, lalu diungkap cerminan gejala kebudayaannya.

2. Klasifikasi dan Deskripsi Leksikon Waktu Harian dalam Bahasa Sunda

Boas (1966: 59) dalam Palmer (1999: 11) mengatakan bahwa bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya. Lebih lanjut, hasil observasi Boas menunjukkan bahwa bahasa mendasari pengklasifikasian pengalaman sehingga berbagai bahasa mengklasifikasikan pengalaman secara berbeda dan pengklasifikasian semacam itu tidak selalu disadari oleh penuturnya. Adapun leksikon waktu harian dalam bahasa Sunda dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok: (1) waktu ibadah, (2) waktu keluarga dan pergaulan dalam masyarakat, (3) waktu kerja, serta (4) waktu istirahat.

Pertama, waktu ibadah merupakan kelompok leksikon waktu harian yang berkaitan dengan penanda waktu ibadah bagi orang Sunda. Karena orang Sunda banyak yang beragama Islam, leksikon waktu ibadah menunjukkan nama-nama salat dalam agama Islam. Leksikon yang dimaksud adalah sebagai berikut: 
1) subuh 
    subuh
    'saatnya waktu salat subuh' (kira-kira pukul 04.30) 
2) tengah poé atau lohor 
    tengah hari atau zuhur
    'tengah hari yang bertepatan dengan saatnya salat zuhur' (kira-kira pukul 12.00) 
3) asar 
    asar
    'saatnya waktu salat asar' (kira-kira pukul 15.00) 
4) sareupna atau magrib 
    mulai gelap atau magrib
    'saat mulai gelap karena matahari terbenam yang bertepatan dengan saatnya salat magrib' 
    (kira-kira pukul 18.15) 
5) isa 
    isa
    'saatnya salat isa' (kira-kira pukul 19.00) 

Kedua, waktu keluarga dan pergaulan dalam masyarakat berkaitan dengan leksikon waktu harian yang bertepatan dengan saat-saat berkumpulnya orang Sunda di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya (tetangga). Adapun leksikon tersebut adalah sebagai berikut:
1) pasosoré 
    sore-sore
    'sore-sore' (kira-kira pukul 16.00) 
2) ngampih laleur 
    masuk ke sarang lalat
    'saat lalat masuk ke sarangnya' (kira-kira pukul 17.00) 
3) tunggang gunung 
    tunggang gunung
    'saat matahari di atas punggung gunung' (kira-kira pukul 17.30) 
4) sariak layung 
    riak-riak lembayung
   'saatnya muncul riak-riak lembayung di langit' (kira-kira pukul 18.00) 
5) harieum beungeut 
    teduh wajah
    'saat wajah terasa teduh karena matahari telah tenggelam dan menyisakan langit merah di ufuk barat' (kira-kira pukul 18.30) 

Ketiga, waktu kerja merupakan leksikon waktu harian yang menandai saat-saat berangkat kerja, melakukan pekerjaan, dan pulang kerja. Berikut ini adalah leksikon yang menunjukkan waktu kerja: 
1) balébat 
    fajar
    'fajar' (kira-kira pukul 05.00) 
2) carangcang tihang 
    jarang-jarang tiang 
    'saat tiang atau pohon mulai terlihat samar-samar' (kira-kira pukul 05.30)
3) isuk-isuk 
    pagi-pagi
    'pagi-pagi' (kira-kira pukul 06.00)
4) murag ciibun 
    jatuh embun
    'saat embun berjatuhan dari dedaunan' (kira-kira pukul 07.00) 
5) haneut moyan 
    hangat berjemur
    'saat yang hangat untuk berjemur' (kira-kira pukul 08.00) 
6) pecat sawed 
    lepas tali rotan untuk mengikat leher kerbau ke pasangan
    'waktu membuka sawed (menghentikan kerbau) karena sudah siang' (kira-kira pukul 11.00)
7) rumangsang 
    matahari sudah tinggi
    'saat sinar matahari mulai terasa semakin panas' (kira-kira pukul 11.30) 
6) méngok 
    condong
    'saat posisi matahari mulai condong ke arah barat' (kira-kira pukul 13.00)
7) lingsir ngulon 
    bergeser menuju ke barat
    'saat posisi matahari sudah benar-benar bergeser menuju ke arah barat' (kira-kira pukul 14.00) 

Keempat, waktu istirahat merupakan leksikon waktu harian yang berkaitan dengan masa istirahat orang Sunda setelah menjalani aktivitas harian. Leksikon yang dimaksud adalah sebagai berikut: 
1) sareureuh budak 
    istirahat anak-anak
    'saatnya anak-anak beristirahat' (kira-kira pukul 21.00)
2) sareureuh kolot 
    istirahat orang tua
    'saatnya orang tua beristirahat' (kira-kira pukul 21.30)
3) peuting 
    malam
   'malam' (kira-kira pukul 23.00)
4) tengah peuting 
    tengah malam
    'tengah malam' (kira-kira pukul 00.00)
5) wanci tumorék 
    waktu tuli
    'saat seolah-olah manusia sedang tuli karena kebanyakan orang telah tidur sehingga suasana malam sudah sangat sepi' (kira-kira pukul 24.30) 
6) janari leutik 
   dini hari kecil
   'dini hari awal' (kira-kira pukul 01.30) 
7) janari gedé 
    dini hari besar
    'dini hari tengah' (kira-kira pukul 02.00) 
8) disada rorongkéng atau kongkorongok hayam sakali 
    berbunyi sejenis katak atau berkokok ayam satu kali
    'riuh bunyi sejenis katak yang biasa terdengar tengah malam' atau 'kokok ayam satu kali' (kira-kira pukul 02.30) 
9) haliwawar 
    badai
   'bunyi-bunyi sebagai tanda kehidupan sudah mulai terdengar' (kira-kira pukul 03.00) 
10) kongkorongok hayam dua kali 
     berkokok ayam dua kali 
     'kokok ayam dua kali' (kira-kira pukul 03.30) 
11) janari 
      dini hari
      'dini hari akhir' (kira-kira 04.00) 

3. Fungsi Leksikon Waktu Harian dalam Bahasa Sunda bagi Masyarakat Penuturnya

Ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan suatu masyarakat dan leksikon bahasanya (Wierzbicka, 1997: 1). Artinya, fungsi leksikon waktu harian dalam bahasa Sunda juga sangat berkaitan dengan aktivitas hidup orang Sunda. Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, fungsi leksikon waktu harian dalam bahasa Sunda dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi: (1) fungsi individual, (2) fungsi sosial, dan (3) fungsi ilahiah. 

Pertama, leksikon waktu harian memiliki fungsi individual karena sejumlah leksikon tersebut berkaitan dengan waktu pemenuhan kebutuhan dan kepuasaan individual. Kelompok leksikon yang menunjukkan waktu istirahat, seperti sareureuh budak 'saatnya anak-anak beristirahat' (kira-kira pukul 21.00) dan sareureuh kolot 'saatnya orang tua beristirahat' (kira-kira pukul 21.30), merupakan jenis leksikon yang berkaitan dengan fungsi pemenuhan kebutuhan dan kepuasaan individual.

Kedua, leksikon waktu harian memiliki fungsi sosial karena terdapat banyak leksikon yang berkaitan dengan waktu kebersamaan orang Sunda dengan keluarga dan orang-orang di sekitarnya (tetangga). Kelompok leksikon yang menunjukkan waktu kerja serta leksikon yang menunjukkan waktu keluarga dan pergaulan dalam masyarakat adalah jenis leksikon yang berkaitan dengan fungsi sosial. Sebagai contoh, waktu antara pasosoré 'sore-sore' (kira-kira pukul 16.00) sampai harieum beungeut 'saat wajah terasa teduh karena matahari telah tenggelam dan menyisakan langit merah di ufuk barat' (kira-kira pukul 18.30) merupakan waktu favorit bagi orang Sunda untuk melaksanakan fungsi sosialnya: anak-anak bermain dengan temannya; orang tua juga bercengkerama dengan koleganya.

Ketiga, leksikon waktu harian memiliki fungsi ilahiah karena beberapa leksikon memang merujuk pada waktu salat dalam agama Islam. Kelompok leksikon yang menunjukkan waktu ibadah adalah jenis leksikon yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya. Adapun lima waktu ibadah yang utama adalah subuh 'saatnya waktu salat subuh' (kira-kira pukul 04.30), tengah poé atau lohor 'tengah hari yang bertepatan dengan saatnya salat zuhur' (kira-kira pukul 12.00), asar 'saatnya waktu salat asar' (kira-kira pukul 15.00), sareupna atau magrib 'saat mulai gelap karena matahari terbenam yang bertepatan dengan saatnya salat magrib' (kira-kira pukul 18.15), dan isa 'saatnya salat isya' (kira-kira pukul 19.00). 

4. Cerminan Gejala Kebudayaan Berdasarkan Leksikon Waktu Harian dalam Bahasa Sunda

Wierzbicka (1997: 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan menceritakan karakteristik cara hidup dan cara berpikir penuturnya dan dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya penuturnya. Begitu pun halnya dengan leksikon waktu harian dalam bahasa Sunda, leksikon tersebut dapat memberikan gambaran tentang pandangan kolektif orang Sunda terhadap dunianya. Dalam konteks ini, pandangan hidup orang Sunda mengandung berbagai hal tentang manusia sebagai pribadi, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiah (Warnaen dkk., 1987: 164-165; Garna, 2008: 187).

Orang Sunda berusaha mematuhi kontrol sosial dengan berpedoman pada norma-norma yang tertentu, seperti diungkapkan oleh tiis ceuli herang mata 'hidup damai dan tenteram' dan kudu mihapékeun manéh 'tingkah laku sesuai dengan lingkungan' (Garna, 2008: 188). Artinya, orang Sunda selalu berusaha untuk menjaga harmoni antara manusia dan manusia, manusia dan alam, serta manusia dan Tuhannya. Usaha untuk menjaga harmoni itu menjadi penting karena akan berbanding lurus dengan tercapainya kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.

Prinsip harmoni tersebut juga tergambar dalam leksikon waktu harian. Sebagai contoh, adanya leksikon sareureuh budak 'saatnya anak-anak beristirahat' (kira-kira pukul 21.00) dan sareureuh kolot 'saatnya orang tua beristirahat' (kira-kira pukul 21.30) menggambarkan konsep harmoni antara manusia dan manusia. Dalam kedua leksikon ini tersirat pandangan hidup orang Sunda yang memandang pentingnya menjaga keselarasan waktu istirahat anak-anak dan orang tua. Adapun leksikon murag ciibun 'saat embun berjatuhan dari dedaunan' (kira-kira pukul 07.00) dan pecat sawed 'waktu membuka sawed (menghentikan kerbau) karena sudah siang' (kira-kira pukul 11.00) menggambarkan konsep harmoni antara manusia dan alam. Kedua leksikon ini menunjukkan bagaimana orang Sunda memerhatikan perubahan alam dan kondisi binatang. Sementara itu, kelima leksikon waktu ibadah yang telah disinggung pada bagian terdahulu jelas sekali menunjukkan adanya harmoni antara orang Sunda dan Tuhannya.

5. Simpulan 

Kajian tentang leksikon waktu harian dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Sunda, tidak hanya dapat dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dapat dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu menjangkau fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan. Dalam kajian ini terungkap bahwa leksikon waktu harian dalam bahasa Sunda dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok, yaitu (1) waktu ibadah, (2) waktu keluarga dan pergaulan dalam masyarakat, (3) waktu kerja, serta (4) waktu istirahat. Berdasarkan fungsinya, leksikon waktu harian dalam bahasa Sunda dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi, yakni (1) fungsi individual, (2) fungsi sosial, dan (3) fungsi ilahiah. Akhirnya, muara dari kajian ini juga dapat mengungkap pandangan hidup orang Sunda yang selalu berusaha untuk menjaga harmoni antara (1) manusia dan manusia, (2) manusia dan alam, serta (3) manusia dan Tuhannya. Usaha untuk menjaga harmoni itu menjadi penting karena akan berbanding lurus dengan tercapainya kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah bagi orang Sunda. 

Daftar Pustaka

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. 
Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.
Garna, Judistira K. 2008. Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad dan Judistira Garna Foundation.
Hidayat, Rachmat Taufik dkk. 2005. Peperenian Urang Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Palmer, Gary B. 1999. Towards a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press. 
Sasmita, Mamat. 2007. “Waktu dan Urang Sunda” dalam Harian Umum Kompas Jabar, 28 Juli 2007. 
Satjadibrata. 2011. Kamus Sunda-Indonesia. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Warnaen, Suwarsih dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.

*Tulisan ini dimuat dalam Nasanius, Yassir (ed.). 2011. KOLITA 9: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 9: Tingkat Internasional. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa & Budaya Unika Atma Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar